Laman

Minggu, 27 Maret 2011

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keanekaragaman jenis dari gen tumbuhan ataupaun hewan dapat terjadi melalui evolusi alamiah. Karena jumlah manusia semakin banyak dan menempati daerah yang semakin luas, dan evolusi alamiah itu makin banyak terpengaruh oleh manusia. Dengan mekin majunya teknologi, kemampuan untuk mengubah lingkungan semakin besar. Pengubahan lingkungnan ini misalnya penebangan hutan dan pencemaran sangat mempengaruhi jalannya evolusi.
Keanekaragaman sumber daya hayati Indonesia termasuk dalam golongan tertinggi di dunia, jauh lebih tinggi daripada keanekragaman sumber daya hayati di Amerika maupun Afrika tropis, apalagi bila dibandingkan dengan daerah beriklim sedang dan dingin.
Jenis tumbuh-tumbuhan di Indonesia secara keseluruhan ditaksir sebanyak 25.000 jenis atau lebih dari 10 persen dari flora dunia. Lumut dan ganggang ditaksir jumlahnya 35.000 jenis. Tidak kurang dari 40 persen dari jenis-jenis ini merupakan jenis yang endemik atau jenis yang hanya terdapat di Indonesia saja dan tidak terdapat di tempat lain di dunia.
Dari sekian banyak jenis-jenis tumbuhan yang ada sebagian besar terdapat di kawasan hutan tropika basah, terutama hutan primer, yang menutup sebagian besar daratan Indonesia. Hutan ini mempunyai struktur yang kompleks yang menciptakan lingkungan sedemikian rupa sehingga memungkinkan beranekaragam jenis dapat tumbuh di dalamnya. Dari sekian banyak jenis tumbuhan yang ada banyak terdapat di dalamnya jenis-jenis yang kisran ekologinya sama tetapibanyak pula yang berbeda. Jenis-jenis tertentu mempunyai kisaran penyebaran yang luas dan menduduki berbagai macam habitat dan seirama dengan itu pula jenis semacam ini biasanya mempunyai variabilitas genetika yang tinggi.
Dari keanekragaman sumber daya hayati di hutan primer tersebut tidak hanya terbatas pada jenis tumbuhan berkayu, namun juga ditumbuhi oleh beranekaragam tumbuhan bawah yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Tumbuhan bawah juga menjadu salah satu bagian dari fungsi hutan. Keanekaragaman jenis tumbuhan bawah yang sangat tinggi menyebabkan adanya kemungkinan masih banyak jenis-jenis tumbuhan bawah lainnya yang belum teridentifikasi, sehingga kita tidak mengetahui dengan jelas bagaimana keanekaragaman tumbuhan bawah yang sebenarnya.
Dalam hal melakukan identifikasi terhadap berbagai jenis tumbuhan bawah yang juga merupakan bagian dari keanekaragaman sumber daya alam hayati maka perlu dilakukan pengukuran-pengukuran, baik itu pengukuran secara langsung terhadap organisme yang bersangkutan ataupun dengan cara mengevaluasi indikator-indikator yang ada. Berbagai aspek yang dapat diamatai dalam rangka pengukuran keanekaragaman sumber daya hayati adalah : jumlah jenis, kerapatan atau kelimpahan, penyebaran, dominasi, produktivitas, variasi di dalam jenis, variasi atau keanekaragaman genetik, laju kepunahan jenis, nilai jenis atau genetik, jenis asli (alami) atau asing, dan berbagai indikator lainnya.

B. Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dari praktikum Analisis Keanekaragaman Tumbuhan Bawah ini adalah bertujuan untuk menghitung dan mempelajari keanekaragaman tumbuhan bawah pada tingkat jenis.

II. TINJAUAN PUSTAKA
Lingkungan tropika ditandai oleh keanekaragaman yang besar pada habitat dan habitat-mikro tumbuhan dan hewan. Sebagai contoh, kalau lahan hutan daerah iklim sedan sering terdiri dari satu lapis pepohonan dengan belukar dan flora teduhan, hutan tropika basah tak saja mempunyai tiga tingkatan pepohonan tetapi juga komunitas bawahan (sinusia), yang terdiri dari tumbuhan merambat dan epifit yang lebih memperbanyak lagi habitat-mikro dalam ketiga tingkatan pohon itu, dan juga belukar dan flora teduhan (Ewusie, 1990).
Jumlah jenis di suatu daerah ditentukan oleh kecepatan kepunahan jenis dan kecepatan imigrasi atau masuknya jenis ke dalam daerah tersebut. Kepunahan jenis mengurangi jumlah jenis. Proses ini terjadi terus menerus, juga tanpa adanya campur tangan manusia, misalnya di pulau atau di hutan belantara yang tidak dihuni manusia. Kepunahan itu terjadi oleh, antara lain, persaingan, antara jenis, iklim yang luar biasa dan bencana alam yang mematikan mahluk hidup dan merusak habitat jenis di daerah itu. Faktor penting yang menentukan kecepatan kepunahan jenis ialah kepadatan jenis, yaitu jumlah jenis per satuan luas. Makin tinggi kepadatan jenis makin tinggi pula kecepatan kepunahan itu. Sebab makin tinggi kepadatan jenis, artinya jumlah individu per jenis kecil. Hal ini dapat ditunjukan dengan perhitungan sederhana Keanekaragaman jenis dari gen tumbuhan ataupaun hewan dapat terjadi melalui evolusi alamiah. Karena jumlah manusia semakin banyak dan menempati daerah yang semakin luas, dan evolusi alamiah itu makin banyak terpengaruh oleh manusia. Dengan mekin majunya teknologi, kemampuan untuk mengubah lingkungan semakin besar. Pengubahan lingkungnan ini misalnya penebangan hutan dan pencemaran sangat mempengaruhi jalannya evolusi. (Soemarwoto, 2001).
Terdapt lapis terna yang terdiri dari tumbuihan yang lebih kecil yang merupakan kecambah pepohonan yang lebih besar dari lapisan yang lebih atas, atay spesies terna. Keanekaragaman flora di sini kurang ketimbang pada lapis pepohonan, dan spesiesnya kebanyakan termasuk famili Commelinaceae, Zingiberaceae, Acanthaceae, Araceae dan Maranthaceae. Jenis paku dan Selaginella sering menonjol. Yang penting artinya, yaitu lapisan dasar hampir tidak mengandung rumput, kecuali beberapa berdaun lebar seperti Olyra latifolia dan Leptaspis cochleata yang terdapat sevara khas. Juga terdapat sedikit jenis mendong berdaun lebar dalam jenus Mapania dan Hypolytrum. Terdapatnya sedikit tmbuhan dalam lapis terna itu terutama disevavkan tertahannya cahaya oleh lapis pohon yang lebih tinggi dan semak. Nabatah terna yang subur hanya ditemukan di tempat bukaan hutan atau tempat terbuka lain yang tanahnya lebih banyak mendapat cahaya (Cornell dan Orias, 1964).
Nilai kepadatan dipakai untuk menunjukkan kepentingan nisbi setiap spesies dalam komunitas apabila spesies itu serupa dalam bentuk dan ukuran kehidupannya. Kalau tumbuhannya berbeda bentuk kehidupannya, seperti semak, rerumputan atau tumbuhan rambat, maka kepadatan saja tidaklah cukup untuk pembandingan, dan data mengenai tutupan haruslah dilibatkan. Ini disebabkan karena beberapa tumbuhan mungkin mempunyai kepadatan yang rendah karena sifatnya yang merumpun atau lirpermadani, tetapi keadaan ini akan memberikan kesan tak tepat mengenai kepentingan atau peranannya dalam komunitas itu karena tumbuhan itu mungkin membentuk tutupan yang jauh lebih luas yang pada kenyataannya mencerminkan kepentingan dalam komunitas itu secara lebih baik dari pada hanya berdasarkan kepadatan saja (Colinvaux, 1973).
Keanekaragaman berarti keadaan berbeda atau mempunyai berbagai perbedaan dalam bentuk atau sifat. Keanekaragaman spesies di daerah tropika dapat dilihat pada dua tingkatan, yaitu jumlah besar spesies dengan wujud kehidupan sangat berbeda yang tidak diketemukan di bagian lain dunia ini (Odum,1966).
Keanekaragaman Hayati atau Biodiversity adalah berbagai variasi yang ada diantara mahluk hidup dan lingkungan nya. Melindungi keanekaragaman hayati adalah salah satu tantangan terbesar yang harus dihadapi manusia. Biodiversity biasanya dibedakan dalam 3 tingkatan yakni :

  1. Keanekaragaman tingkat Genetik adalah tingkat paling mendasar yang mengacu pada varietas yang ada dari anggota spesies-spesies.

  2. Keanekaragaman tingkat Spesies adalah yang paling umum yang mengacu pada variasi spesies di satu tempat tertentu atau diantara sebuah kelompok mahluk hidup khusus. Sebagian besar lingkungan tropis memiliki keanekaragaman spesies yang lebih besar dibandingkan dengan daerah yang lebih dingin. Indonesia memiliki lebih dari 15.000 spesies tanaman termasuk diantaranya anggrek hitam dan bunga raflesia. Hanya beberapa spesies tertentu yang bisa hidup di daerah kutub.


  1. Keanekaragaman tingkat Ekosistem, mengacu pada variasi bentuk fisik suatu tempat seperti padang, pasir, danau, karang, beserta populasi tumbuhan serta binatang yang ada. Suatu ekosistem terdiri dari mahluk hidup di suatu lokasi tertentu dan unsure-unsur abiotik yang penting bagi kelangsungan mahluk hidup tersebut. Setiap jenis ekosistem memiliki campuran spesies yang unik yang berbeda dari setiap jenis ekosistem yang lain. Kombinasi tumbuhan dan binatang bisa berbeda meskipun sama-sama di hutan tropis di lereng gunung. Jika suatu ekosistem menghilang maka hilanglah pula spesies yang ada di tempat tersebut.(Kartawinata,1984)

Read more: http://juliusthh07.blogspot.com/2010/03/keanekaragaman-tumbuhan-bawah.html#ixzz1HxZ43bAF

Kamis, 10 Maret 2011

Gempa guncang Jepang 8,8 SR

Gempa 8,8 SR dan Tsunami Hantam Jepang
Gempa mulai terasa pada pukul 14.46 waktu setempat
Jum'at, 11 Maret 2011, 14:00 WIB
Renne R.A Kawilarang
Kota Kamogawa, Jepang, usai dihantam tsunami (AP Photo/Kyodo News)
VIVAnews - Gempa bumi kembali mengguncang Jepang, Jumat siang. Gempa berkekuatan 8,8 pada Skala Richter (SR) ini juga memicu tsunami yang menghantam banyak kendaraan dan sejumlah bangunan di pesisir timur laut Jepang, yang dekat dengan episentrum.

Menurut kantor berita Associated Press, gempa mulai terasa pada pukul 14.46 waktu setempat. Sekitar 30 menit kemudian, terjadi gempa susulan berkekuatan 7,4 SR. Badan Survei Geologi AS menilai bahwa gempa pertama berkekuatan 8,8 SR.

Badan Meteorologi Jepang kemudian mengeluarkan peringatan tsunami di seluruh pesisir timur Jepang, yang menghadapi Samudera Pasifik. Pusat Peringatan Tsunami Pasifik di Hawaii menyatakan bahwa peringatan tsunami juga berlaku di Rusia, Pulau Marcus, dan Kepulauan Mariana.

Peringatan waspada tsunami juga dikeluarkan untuk Guam, Taiwan, Filipina, Indonesia, dan negara bagian Hawaii, AS. Penduduk ibukota Jepang, juga merasakan guncangan gempa.

Pihak berwenang masih memantau apakah bencana gempa dan tsunami itu telah menimbulkan korban jiwa dan kerusakan parah. (umi)
• VIVAnews

Sejarah Dephut

LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA DEPARTEMEN KEHUTANAN

04/07/2007 01:06
A. PERKEMBANGAN KEHUTANAN MENJELANG TAHUN 1983

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967, mengamanatkan bahwa pengurusan hutan pada hakekatnya adalah untuk mendapatkan manfaat hutan yang sebesar-besarnya secara serbaguna dan lestari baik secara langsung maupun tidak langsung, bagi kemakmuran masyarakat.

Pengurusan hutan tersebut dilaksanakan melalui berbagai bentuk kegiatan, yang mencakup:
1. Pengaturan pemolaan dan penataan kawasan hutan.
2. Pengaturan dan penyelenggaraan pengusahaan hutan.
3. Pengaturan terhadap perlindungan proses ekologi yang mendukung sistem. penyangga kehidupan serta rehabilitasi hutan, tanah dan air.
4. Pengaturan terhadap usaha-usaha terselenggaranya dan terpeliharanya pengawetan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
5. Penyelenggaraan penyuluhan dan pendidikan di bidang kehutanan.

Agar usaha-usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan pengurusan hutan tersebut secara administratif dan teknis dapat terselenggara dengan baik maka diperlukan adanya wadah atau sarana kelembagaan yang dapat menampung seluruh aktivitas kegiatan di bidang kehutanan.

Pada PELITA I, sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah pada waktu itu, kelembagaan yang menangani tugas-tugas atau kegiatan di bidang kehutanan berbentuk Direktorat Jenderal, yang secara administratif dan teknis berada di bawah Departemen Pertanian. Melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 168/Kpts-Org/4/1971 ditetapkan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Kehutanan, yang terdiri dari:

1. Sekretariat Direktorat Jenderal Kehutanan. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu administrasi untuk penyelenggaraan bimbingan, koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi seluruh kegiatan dan pekerjaan Direktorat Jenderal.

2. Direktorat Perencanaan. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu teknis untuk pembinaan kegiatan pengumpulan dan penganalisis data, perencanaan program, pengukuhan, penataan dan pemanfaatan, inventarisasi serta evaluasi program sub sektor kehutanan.

3. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu teknis untuk pembinaan reboisasi dan penghijauan serta persuteraan alam.

4. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Fungsinya adalah sebagai pembantu teknis untuk pembinaan cagar alam, suaka margasatwa, hutan suaka alam, taman wisata, taman buru dan sebagainya.

5. Direktorat Eksploitasi dan Pengolahan. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu teknis untuk pembinaan dan pengembangan eksploitasi dan pengolahan hasil hutan.

6. Direktorat Pemasaran. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu teknis untuk pembinaan dan pengembangan pemasaran hasil hutan.

7. Lembaga Penelitian Hutan. Lembaga ini berfungsi sebagai pelaksana teknis penelitian hutan, tata air, satwa liar, sutera alam, dan pencegahan serta pembasmian hama dan penyakit.

8. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Lembaga ini berfungsi sebagai pelaksana teknis penelitian teknologi (fisik dan kimiawi), pemasaran dan sarana produksi (tenaga dan alat).

Sejalan dengan usaha pemantapan organisasi di lingkungan Departemen Pertanian dalam rangka peningkatan pelaksanaan tugas pada PELITA II, maka pada tahun 1975 susunan organisasi dan tata kerja Direktorat Jenderal Kehutanan, mengalami perubahan pula.

Dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 190/Kpts/Org/5/1975, ditetapkan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Kehutanan, yang terdiri dari:

1. Sekretariat Direktorat Jenderal

2. Direktorat Bina Program Kehutanan

3. Direktorat Bina Produksi Kehutanan

4. Direktorat Bina Sarana Usaha Kehutanan

5. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi

6. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam

Dalam struktur organisasi yang baru itu, Lembaga Penelitian Hutan yang semula adalah unsur pelaksana Direktorat Jenderal Kehutanan, dimasukkan ke dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (BPPP). Sedang kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan, hubungan masyarakat dan penyuluhan dimasukkan ke dalam Badan Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian (BPLPP).

Sebagai suatu sarana untuk mencapai tujuan, organisasi harus dapat menampung perkembangan tugas dan kegiatan yang terjadi. Oleh karena itu, untuk lebih memantapkan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan di sub sektor kehutanan dalam PELITA III, dengan Surat Keputusan No. 453/Kpts/Org/6/1980, Menteri Pertanian mengadakan pemantapan kembali Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Kehutanan.

Berdasarkan Keputusan tersebut Susunan Organisasi Direktorat Jenderal Kehutanan ditetapkan sebagai berikut:
1. Sekretariat Direktorat Jenderal

2. Direktorat Bina Program Kehutanan

3. Direktorat Bina Produksi Kehutanan

4. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi

5. Direktorat Tertib Pengusahaan Hutan

6. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam

Sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian tersebut Direktorat Bina Sarana Usaha Kehutanan diubah menjadi Direktorat Tertib Pengusahaan Hutan. Perubahan ini sesuai dengan perkembangan keadaan pada waktu itu, yang menekankan perlunya usaha-usaha pemantapan dalam bidang pengusahaan hutan.

Disamping perangkat tingkat pusat yang berfungsi sebagai unsur pembantu bidang administrasi dan teknis, terdapat pula unsur pelaksana teknis Direktorat Jenderal Kehutanan yang terdiri dari:

1. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dibentuk berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 429/Kpts/Org/7/1978, sebagai unit pelaksana teknis di bidang perlindungan dan pengawetan alam.

2. Balai Planologi Kehutanan (BPK), dibentuk berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 430/Kpts/Org/7/1978, sebagai unit pelaksana teknis bimbingan dan pengamanan sumber serta modal kehutanan.

Selain unsur-unsur tersebut, pelaksanaan tugas-tugas yang berkaitan dengan bidang kehutanan ditangani juga oleh beberapa instansi kehutanan lainnya yang secara administratif berada di luar Direktorat Jenderal Kehutanan, yaitu:

1. Balai Latihan Kehutanan, dan Sekolah Kehutanan Menengah Atas yang merupakan Unit Pelaksana Teknis dari Badan Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian, yang khusus menangani kegiatan pendidikan dan latihan kehutanan.

2. Balai Penelitian Hutan (BPH) dan Balai Penelitian Hasil Hutan (BPHH), merupakan Unit Pelaksana Teknis dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yang khusus menangani kegiatan penelitian hutan dan hasil hutan.

3. Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah Tingkat I yang menangani urusan rumah tangga daerah di bidang kehutanan dan tugas-tugas perbantuan dari Direktorat Jenderal Kehutanan.

B. PEMBENTUKAN DEPARTEMEN KEHUTANAN

Pembangunan kehutanan sebagai suatu rangkaian usaha diarahkan dan direncanakan untuk memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya hutan secara maksimal dan lestari. Tujuannya adalah untuk memadukan dan menyeimbangkan manfaat hutan dengan fungsi hutan dalam keharmonisan yang dapat berlangsung secara paripurna.

Dalam pelaksanaannya, yang sejalan dengan semakin berkembangnya usaha-usaha lain dalam pembangunan nasional, pembangunan kehutanan menghadapi berbagai masalah/hambatan yang sangat kompleks. Apabila masalah dan hambatan tersebut tidak ditangani secara menyeluruh, tujuan pembangunan kehutanan akan dapat terganggu.

Berbagai masalah yang berupa ancaman, gangguan, dan hambatan dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, tidak akan dapat terselesaikan secara tuntas apabila penanganannya tidak bersifat strategis, yaitu melalui penanggulangan secara konsepsional dan paripurna dengan sistem manajemen yang dapat menampung seluruh aktivitas kegiatan kehutanan yang sudah semakin meningkat. Dalam kondisi seperti itu maka perlu adanya suatu bentuk administrasi pemerintahan yang sesuai dan memadai, sebagai sarana yang sangat dibutuhkan bagi terlaksananya keberhasilan pembangunan kehutanan.

Instansi kehutanan yang setingkat Direktorat Jenderal dirasakan tidak mampu mengatasi permasalahan dan perkembangan aktivitas pembangunan kehutanan yang semakin meningkat. Beberapa hambatan yang secara administratif mempengaruhi pelaksanaan pembangunan kehutanan antara lain:

1. Ruang lingkup direktorat jenderal sudah terlalu sempit, sehingga banyak permasalahan yang seharusnya ditangani dengan wewenang kebijaksanaan seorang menteri kurang mendapat perhatian. Akibatnya, Direktorat Jenderal Kehutanan sering dihadapkan kepada masalah-masalah hierarkhis, seperti misalnya di dalam melakukan kerjasama dengan instansi-instansi lain yang lebih tinggi tingkatannya.

2. Akibat selanjutnya, barangkali terus ke tingkat yang lebih bawah. Direktorat Jenderal Kehutanan terpaksa banyak mendelegasikan wewenang kepada direktorat melebihi dari yang seharusnya. Maka, direktorat terlibat pula pada tugas-tugas lini dan tugas-tugas lintas sektoral/sub sektoral, yang memang banyak terjadi untuk kegiatan kehutanan.

3. Kewenangan yang melekat pada organisasi tingkat direktorat jenderal dirasakan terlalu kecil di dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang bersifat kebijaksanaan, terutama dalam melakukan kerjasama dengan instansi lain yang terkait.

4. Hubungan teknis fungsional antara daerah dan pusat, dilakukan melalui Kantor Wilayah Departemen (Pertanian), yang karena berbedanya sifat kegiatan masing-masing sub sektor, menimbulkan kekurangserasian.

5. Keterbatasan untuk mengembangkan sarana personil terjadi, karena terikat pada jumlah formasi untuk tingkat direktorat jenderal.

6. Di samping itu terjadi pula keterbatasan pada unit organisasi, yang secara fungsional bertindak sebagai unsur pengawas.

7. Keseluruhan hambatan tersebut menyebabkan sering timbulnya masalah-masalah yang bersifat non rutin, yang memerlukan pemecahan secara khusus.

Selain itu, untuk mencapai tujuan pembangunan kehutanan diperlukan suatu pangkal tolak dan orientasi dengan cakrawala yang luas serta menyeluruh tentang hutan dan kehutanan, yang dalam pelaksanaannya mencakup aspek pemanfaatan, konservasi sumber daya alam hutan, dan rehabilitasi lahan.

Dari hal-hal tersebut, maka terbentuknya Departemen Kehutanan pada PELITA IV merupakan konsekuensi logis dari tuntutan keadaan dan perkembangan selama itu, dengan demikian wadah baru setingkat departemen tidak akan mampu menampung permasalahan-permasalahan yang beranekaragam. Hal ini sejalan dengan pidato Presiden pada pembentukan Kabinet Pembangunan IV pada tanggal 16 Maret 1983, sebagai berikut:

Untuk itu dianggap perlu untuk menambah jumlah departemen dengan memecah beberapa departemen yang dinilai ruang lingkup tugasnya perlu memperoleh perhatian yang lebih besar dan harus ditangani lebih intensif dalam PELITA IV nanti.

Sedangkan dalam pemecahan Departemen Pertanian menjadi Departemen Pertanian dan Departemen Kehutanan, Presiden mengatakan:

Pemecahan ini perlu, karena dalam PELITA IV nanti di satu pihak terus berusaha untuk meningkatkan produksi pertanian seperti pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan, sedangkan di lain pihak kita harus dapat memanfaatkan kekayaan alam kita yang berupa hutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap dan harus melaksanakan rehabilitasi dan kelestarian hutan.

Terbentuknya Departemen Kehutanan memang sangat tepat, karena hutan dengan multi fungsinya tidak mungkin ditangani secara baik tanpa wadah yang mandiri. Demikian pula ketiga aspek pembangunan kehutanan (perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan) dapat dilaksanakan secara saling menunjang, sehingga tidak dapat dilaksanakan secara terpisah-pisah oleh berbagai departemen. Melihat pentingnya penanganan ketiga aspek pembangunan kehutanan itu maka eksistensi Departemen Kehutanan memang merupakan suatu kebutuhan yang mendasar sebagai sarana dalam rangka tinggal landas kehutanan.

Untuk dapat menampung tugas dan fungsi pokok tersebut di atas maka sesuai dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 15 tahun 1984 Struktur Organisasi Departemen Kehutanan ditetapkan sebagai berikut:

1. Menteri;

2. Sekretariat Jenderal;

3. Inspektorat Jenderal;

4. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan;

5. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan;

6. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam;

7. Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan;

8. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan;

9. Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan;

10. Kantor Wilayah Departemen Kehutanan di Wilayah.

Di samping itu terdapat 12 UPT di lingkungan Departemen Kehutanan dan 24 Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I.

Pembentukan Departemen Kehutanan bukan merupakan restorasi dari Direktorat Jenderal Kehutanan, melainkan merupakan suatu pembangunan institusi kehutanan melalui pengembangan dan pemanfaatan kondisi dan material yang dimiliki. Hal tersebut sekaligus merupakan jawaban atas kondisi dan permasalahan yang dihadapi selama itu, yang antara lain berupa keterbatasan masalah peraturan perundangan, kepemimpinan dan kebijaksanaan, keterbatasan sarana, personil dan lain-lain. Atas dasar kondisi tersebut kemudian ditetapkan kembali tujuan, misi dan tugas pokok serta fungsi Departemen Kehutanan sebagai landasan pelaksanaan pembangunan kehutanan.

Senin, 07 Maret 2011

Investasi HPH capai Rp. 7,6 triliun tahun lalu

JAKARTA: Investasi 166 unit Hak Pengusahaan Hutan (HPH) hingga akhir 2010 tercatat sebesar Rp7,6 triliun yang menyerap tenaga kerja 129.105 orang.
“Nilai itu belum final, mengingat masih ada 137 unit HPH yang belum menyampaikan laporan keuangan. Kita akan kejar terus mereka untuk melaporkan kondisi keuangannya sehingga bisa diaudit dan kita ketahui nilai investasi perolehannya, jika tidak diserahkan laporannya hingga Maret tahun ini, kita kasih peringatan," ungkap Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto, hari ini.

Menurut dia, nilai perolehan investasi dari 68 unit Hutan Tanaman Industri (HTI) baru sebesar Rp1,985 triliun dengan serapan tenaga kerja 12.941 orang. "Untuk HTI juga sama, kita beri waktu sampai Maret, kalau tidak kita beri peringatan."

Kemenhut, katanya, juga menyatakan optimistis semua pemegang izin HPH dan HTI melakukan sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL). Pasalnya, kata Hadi, sertifikasi PHPL dibutuhkan pemegang konsesi untuk menjamin produk yang dihasilkan berasal dari sumber yang legal.

"Sertifikasi PHPL juga bisa meningkatkan pangsa pasar yang anjlok karena tudingan pengelolaan hutan yang ilegal."

Namun demikian, lanjutnya, dari jumlah 303 unit HPH dengan total luas 214,9 juta ha, baru 136 unit yang sudah tersertifikasi PHPL mandatory dengan luasan 13,66 juta ha.

“Ini menunjukkan kenaikan karena dibandingkan dengan tahun sebelumnya ada 81 unit HPGH dengan luas 7,97 juta ha, artinya ada tambahan 55 unit HPH yang tersertifikasi,” jelas Hadi.

Menurutnya, sebanyak 56 unit HPH yang diberi peringatan dan dicabut SK-HPHnya oleh menteri kehutanan sampai awal tahun ini. Peringatan yang dilanjutkan pencabutan itu disebabkan beberapa hal yakni karena meninggalkan konsesi dan sudah diperingati sampai tiga kali tetapi tidak melakukan perbaikan ada 32 unit (2,95 juta ha).

Kemenhut mencatat 17 unit HPH (1,153 juta ha) yang dikembalikan oleh pemegang izin karena gangguan sosial, 3 unit (133.662 ha) tidak membayar dana reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), serta 4 unit (1,041 juta ha) dicabut tanpa peringatan.

Sementara untuk perolehan sertifikasi PHPL oleh HTI, Kemenhut mencatat 290 unit seluas 12,172 juta ha naik 4,69%, dibanding tahun sebelummnya yang 277 unit. Sementara dari penambahan izin ada kenaikan 1,7%.

Adapun, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) ada di 99 kabupaten, 26 provinsi seluas 634.918 ha. “Ini melebihi target pembangunan HTR 2010 seluas 500 ribu ha,” katanya.(yn)

Hubungan bahan bakar dengan penjalaran api

Hubungan Bahan Bakar dan Penjalaran Api
Penjalaran api kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh kondisi bahan bakarnya. Kondisi bahan bakar bagaimana yang mempengaruhi kecepatan menjalarnya api yaitu kelembaban, ukuran dan kesinambungan bahan bakar. Beberapa factor tersebut diuraikan sebagai berikut :
a. Kelembaban bahan bakar
kemudahan bahan bakar untuk menyala tergantung pada kelembabannya. Semakin tinggi kelembaban berarti semakin kandungan air dalam bahan bakar, sehingga akan menyulitkan api untuk menyala dan menjalar. Demikian pula sebaliknya, apabila bahan bakar hanya sedikit mengandung kelembaban, maka ini akan mempermudah dan mempercepat api untuk menjalar. Bahan bakar yang kering akan mempermudah dan mempercepat api untuk menjalar. Bahan bakar yang memiliki kelembaban tinggi umumnya berasal dari pohon-pohon yang masih hidup, sedangkan bahan bakar yang memiliki kelembaban rendah berasal dari tumbuh-tumbuhan yang sudah mati, bisa berupa pohon mati, sisa-sisa pembalakan seperti tonggak, serpihan potongan ranting, dan sebagainya (Purbowaseso, 2004).
b. Ukuran bahan bakar
Kecepatan menjalarnya apai juga ditentukan oleh ukuran bahan bakarnya. Bahan bakar yang ringan akan lebih cepat menjalarnya dibandingkan dengan yang berat. Contoh bahan bakar ringan seperti daun-daunan, rerumputan, semak-semak ringan, sedangkan contoh bahan bakar berat, seperti tonggak bekas penebangan batang-batang pohon yang tertinggal dihutan, serta cabang-cabang pohon. Bahan bakar yang besar akan lebih lambat menjalarnya (Purbowaseso, 2004).
c. Kesinambungan bahan bakar
Bahan bakar yang berkesinambungan akan mempermudah api untuk menjalar. Hal ini disebabkan pemindahan panas dari bahan bakar satu kebahan bakar didekatnya akan berjalan dengan baik (Purbowaseso, 2004)
Kebakaran hutan seringkali terjadi, data menunjukkan bahwa luas kebakaran hutan di Indonesia 5 tahun terakhir terluas pada tahun 1998 sebesar 515.026 ha, sedangkan pada tahun 2002 sebesar 35.496 ha (Dephut, 2003). Karakteristik tanah terbakar di Sumatera ditinjau dari warna tanah masih dapat bertahan 12 minggu setelah hutan terbakar, nilai value dan chroma menurun dan hue menjadi lebih kuning. Kebakaran menyebabkan perubahan warna agregat luar memiliki hue dan chroma lebih rendah dan hue menjadi lebih merah dibandingkan warna dalam agregat (Sabiham, 2004).
Terkumpulnya bahan bakar di hutan dari satu lokasi kelokasi lain sangat bervariasi dan sangat tergantung dari struktur jenis dan komposisi bahan bakar yang ada. Disamping itu juga sangat dipengaruhi oleh sifat vegetasi yang bersangkutan, misalnya: sifat menggugurkan daun, mengadakan pemangkasan sendiri secara alami (pruning), besarnya tajuk, serta faktor lainnya seperti aktivitas mikroorganisme tanah serta frekuaensi terjadinya kebakaran (Purbowaseso, 2004)
Jenis vegetasi yang memilik sifat menggugurkan daun dan cepat mengalami pruning akan memberikan akulmulasi bahan bakar dilantai hutan dalam jumlah besar dibandingkan jenis yang tidak menggugurkan daun atau lambat mengadakan pruning. Demikian pula dengan pohon yang memiliki tajuk yang besar juga akan memberikan akulmulasi bahan bakar yang banyak bila dibandingkan dengan pohon yang memiliki tajuk yang kecil didalam hutan (Purbowaseso, 2004).

Isu-isu kehutanan

REDD Ditengah Masalah Kehutanan ; Dari Ulumasen Sampai ke Malinau Jun 17, '09 11:22 PM
for everyone

REDD Ditengah Masalah Kehutanan ; Dari Ulumasen Sampai ke Malinau[1]



Andiko[2]



I. Bagaimana Situasi Hutan

Selama ini setiap tulisan tentang kehutanan dimulai dengan posisi normative hutan sebagai sumber kehidupan, sebuah keindahan yang harmonis dan mempertahankan kehidupan manusia. Tetapi sepuluh tahun belakangan ini, pembicaraan tentang hutan didominasi dengan gugatan terhadap menurunnya kualitas hutan (Degradasi) dan habisnya hutan (Deforestasi), serta isu social dan masalah ikutan seperti konflik penguasaan yang mengantarkan pada kemiskinan.

Pada kazanah kebijakan kehutanan Indonesia, hutan didevinisikan dalam pendekatan natural dan politik. Dalam pendekatan natural hutan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dalam pengertian politik hutan diartikan dalam lingkup kawasan hutan yang merupakan wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Konsekuensi langsung pemakaian devinisi natural dan politik ini, hutan di Indonesia dapat berupa hamparan yang tidak terdapat pohonnya.

Sejak lama pendefinisian hutan dalam pendekatan natural dan politik membawa beban yang tidak sedikit bagi Departemen Kehutanan sebagai pemangku urusan kehutanan. Kerapkali keterbatasan personil dan anggaran menjadi kambing hitam yang paling baik untuk menyandangkan segala kesalahan dalam pengelolaan hutan yang berujung pada degradasi dan deforestasi hutan beserta dengan masalah social ikutan. Luasan klaim pemangkuan ini mencapai 120 juta hektar lebih kawasan hutan dengan tingkat pengukuhan yang syah dan legitimate baru mendekati 10 % saja (Icraf 2006).

Saat ini, sektor kehutanan mengahadapi tekanan dari sector lain (eksternal) maupun menghadapai masalah-masalah internal. Tekanan sector eksternal setidaknya disebabkan oleh, pertama luasnya klaim kehutanan terhadap bentang bumi Indonesia yang disebabkan oleh devinisi politik kawasan hutan, kedua karena pesatnya laju ekspansi usaha sector lain. Tekanan sector eksternal itu dating dari sector perkebunan dan sector pertambangan.

Tiga tahun terakhir, sector perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit mengalami percepatan pertumbuhan-luasan yang signifikan. Sawit Watch mencatat, pada tahun 2006,perkebunan sawit telah eksis seluas kurang lebih 6.495.147 Ha. Pada tahun yang sama berdasarkan pengolahan data dari berbagai sumber ada rencana ekspansi 19.840.000 Ha. Pada tahun 2008 luas perkebunan sawit telah meningkat menjadi kurang lebih 7.866.070 Ha dengan rencana ekspansi pembukaan perkebunan baru pada tahun itu seluas kurang lebih 24.407.200 Ha.

Pada sector pertambangan, sampai dengan tahun 2006, terdapat kurang lebih 2.559 ijin pertambangan mineral dan batubara (non galian C) diseluruh Indonesia. Di Kalimantan Selatan saja, lebih dari 400 ijin tambang dikeluarkan, di Kalimantan Timur ada 509 ijin, dan Sulawesi Tenggara 127 ijin tambang. Sebagai perbandingan di kabupaten baru seperti Morowali, Sulawesi Tengah pada tahun itu telah terdapat 190 perijinan tambang.

Secara internal, sector kehutanan sendiri menghadapi masalah-masalah, sederhananya dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar. Masalah pertama adalah masalah hak-penguasaan atau popular disebut dengan masalah tenurial berupa tumpang tindih klaim atas kawasan hutan dan kepastian hak masyarakat lokal dan adat atas hutan dan kawasan hutan, masalah kedua adalah masalah social yang kerap kali berhubungan erat dengan masalah tenurial berupa kemiskinan dan ketimpangan penguasaan hutan dan lahan hutan, sedangkan masalah ketiga adalah masalah lingkungan yang mencakup masalah degradasi dan deforestasi hutan.

2. Bagaimana Penanganan Masalah Kehutanan

Masalah hak dan masalah social kehutanan dimulai dari adanya klaim sepihak kawasan hutan Negara yang didalamnya terdapat desa-desa tempat masyarakat hidup. Pada tahun 2007 Departemen Kehutanan mengakui bahwa dari 31.957 desa yang diidentifikasi di 15 provinsi, sebagian besar (71,06 persen) desa terletak di luar kawasan hutan. Selanjutnya jumlah desa yang terletak di tepi kawasan hutan adalah sebesar 7.943 desa atau 24,86 persen dan sisnya sebesar 4,08 persen desa terletak di dalam kawasan hutan. Pada desa-desa ditemukan persentase rumah tangga miskin di sekitar kawasan hutan sebanyak 18,5 persen terhadap total penduduk di kawasan hutan atau sekitar 5,5 juta orang. Sebagian besar rumah tangga miskin, kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian terutama sub sektor tanaman pangan.

Masalah lingkungan tergambar pada menurunnya kualitas maupun kuantitas hutan. Berdasarkan data kehutanan, antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 laju deforestasi hutan di Indonesia adalah 1, 17 Juta Ha per tahun. Sementara itu luasan hutan yang terdeforestasi pada periode itu adalah 3,52 Juta Ha. Deforestasi tertinggi terjadi pada kawasan hutan produksi, kemudian diikuti dengan kawasan lindung dan konservasi.

Persinggungan masalah-masalah social dan lingkungan kehutanan tersebut menimbulkan konflik-konflik dilapangan. Cifor bersama dengan FWI pada tahun 2004 mencatat berbagai konflik yang timbul dalam pengelolaan dan penguasaan hutan pada kawasan hutan produksi dan kawasan konservasi. Konflik tertinggi terjadi dikawasan hutan produksi terutama pada areal HPH yang disebabkan oleh masalah tatabatas dan pembatasan akses masyarakat. Temuan ini menunjukkan bahwa klaim sepihak yang dilakukan pemerintah dalam bentuk penunjukan hutan Negara telah menimbulkan reaksi negative dari masyarakat.

Sejak lama berbagai masalah-masalah kehutanan ini berusaha untuk dijawab. Berbagai tawaran solusi ditawarkan dan diuji coba untuk menjawab masalah hak, masalah social dan masalah lingkungan yang kian hari kian membesar. Jawaban terhadap masalah kehutanan ini didominasi oleh pendekatan-pendekatan manajemen kehutanan. Program dibawah payung isu Good Governance berupa Good Fores Governance dengan pilar transparansi pengelolaan hutan, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan akuntabilitas aparatur dalam pengelolaan hutan mewarnai sebagian besar program-program dukungan untuk menuju perbaikan masalah-masalah kehutanan.

Pendekatan ini ditempatkan sebagai satu pendekatan generik untuk menjawab masalah kesalahan tata kelola hutan yang menyebabkan lahirnya ketiga masalah yang telah kita uraikan pada bagian sebelumnya. Bagan dibawah, secara sederhana mencoba untuk mengelompokkan masalah kehutanan yang melibatkan masyarakat adat dan masyarakat lokal dengan jawaban berada pada dominasi pendekatan manajemen dengan mengenyampingkan pendekatan komprehensif yang ditawarkan oleh TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.

Bagan Penanganan Masalah Kehutanan

Jika kita lihat selintas tuntutan masyarakat adat untuk pengakuan hutan adatnya dijawab dengan penyusunan RPP Hutan Adat yang mengunci masyarakat adat pada hak berian yang membatasi pemanfaatan hutan untuk kebutuhan sehari-hari dan bukan pada kawasan konservasi dan kawasan yang sudah dilekati perizinan kehutanan. Jika masyarakat adat, ingin memasuki lingkup peran serta pengelolaan hutan yang hasilnya dapat diperdagangkan, maka masyarakat ini harus menanggalkan identitasnya dan masuk pada skema hak berian lain berupa bentuk perizinan Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan atau Hutan Tanaman Rakyat. Niat baik untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan ini kemudian kembali tersungkur dalam belitan birokrasi, misalnya; untuk mendapatkan izin Hutan Tanaman Rakyat, dari proses awal masyarakat harus melewati 19 unit kerja kehutanan yang tersebar dari daerah sampai ke pusat dengan 54 tahapan perizinan (kartodiharjo 2009).

3. REDD dan Tantangannya Bagi Masyarakat Adat

Sejak KTT Bumi di Rio De Janairo rahun 1992, urusan kehutanan tidak hanya urusan kehilangan kayu atau berkurangnya kawasan hutan beserta dengan beban konflik social seperti yang ditanggung oleh Negara-negara dunia ketiga. Urusan kehutanan kemudian memasuki babak yang lebih kompleks yaitu kontribusi terhadap perubahan iklim. Berlin Mandate pada tahun 1995 berupa komitmen pemimpin dunia untuk mengambil langkah dan strategi menghadapi perubahan iklim, memberikan jembatan pada lahirnya Protokol Kyoto tahun 1997.

Negosiasi besar untuk bagaimana menghadapi perubahan iklim ini pada akhirnya berhenti pada posisi bahwa Negara pertama sebagai penghasil utama karbon yang berperan besar terhadap perubahan iklim harus memberikan kompensasi pada Negara-negara ketiga pemilik hutan yang dipercaya dapat melepaskan atau menyimpan karbon. Pada posisi itulah program REDD (Reduction Emission from Deforestation and Degradation) sebagai model penghadangan laju kerusakan hutan di dunia ketiga mendapatkan fondasi setelah generasi awal berupa Clean Development Program (CDM) nyaris gagal total. Selanjutnya REDD mendapat sentuhan rezim perdagangan sehingga popular menjadi bagian dari “ rezim pasar carbon”.

Terlepas dari masalah keadilan iklim antara Negara utara yang lebih banyak berkontribusi kepada perubahan iklim dengan Negara selatan yang dipaksa untuk membersihkan perbuatannya dengan menerima kompensasi, REDD perlu diberikan catatan kritis dalam perspektif masyarakat adat karena program ini sedang diuji coba di indonesia.

Pada putaran diskusi melihat REDD yang dimulai dari Aceh, Kalteng dan Jambi yang diselenggarakan oleh Civil Society Forum (CSF), muncul catatan-catatan kritis dari peserta yang dapat dikelompokkan dalam isu hak dan isu tata kelola.

Pada isu hak, REDD akan memberikan dampak negative kepada masyarakat adat atau lokal ketika hak-hak mereka atas hutan tetap tidak diakui dan diabaikan. Pembayaran kompensasi REDD yang berbasiskan kinerja untuk meningkatkan cadangan karbon pada kawasan hutan yang ada masayarakat adatnya akan mendorong lahirnya pengetatan-pengetatan akses pemanfaatan hutan maupun peniadaan klaim masyarakat yang dapat berujung pada proses kriminalisasi mereka. Aktor utama REDD yang sedang diuji coba bukanlah masyarakat adat yang hak legal mereka atas kawasan hutan belum diakui. Akan ada otoritas pengelola lain yang mendapatkan hak untuk memperdagangkan karbon dalam skema REDD itu.

Pada isu tata kelola, titik kritis disini muncul dari kapasitas dan kapabilitas pemerintah dalam mengelola REDD. Bagaimana secara cepat aparatur pemerintah daerah dapat meningkatkan pengetahuan dalam bidang metodologi penghitungan karbon, kontrak bisnis internasional, mengingat perdagangan carbon memakai rezim hokum kontrak dan isu krusial lagi adalah pengelolaan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.

Dalam kacamata masyarakat adat, pengakuan hutan adat diluar kawasan hutan Negara adalah tuntutan yang telah lama diusung jauh sejak penguasaan hutan-hutan mereka diambil alih oleh negara. Pengambilalihan ini telah melahirkan masalah-masalah hak, social dan lingkungan yang berujung pada konflik baik laten ataupun telah manifest dalam berbagai bentuk, misalnya intimidasi dan kriminalisasi. Masalah-masalah ini terus berlangsung sampai hari ini mengingat pendekatan manajemen yang digunakan tidak menyentuh inti masalah utama yaitu masalah hak. Pada fondasi yang rapuh itu kemudian bangunan REDD coba didirikan. Mendirikan REDD secara paksa tampa dimulai dengan pengakuan-pengakuan hak masyarakat adat akan memperpanjang catatan masalah kehutanan yang ada. Apalagi, REDD mensyaratkan kejelasan status hak dan status hokum kawasan yang akan dilekati program REDD.

Daftar Rujukan
Andiko. Securing Rights for REDD: Strengthening Forest Tenure for Indigenous Peoples and Forest Dependent Communities, 2009
Arnoldo Contreras-Hermosilla dan Chip Fay. Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah: Permasalahan dan Kerangka Tindakan, World Agroforestry Centre, 2006.
Dephut. Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2007, Dephut, 2007
Dephut. Penghitungan Deforestasi di Indonesia Tahun 2008, Dephut 2008
Eva Wollenberg dkk. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003, Cifor 2003.
Hariadi Kartodiharjo. Hambatan Struktural Pembaharuan Kebijakan Pembangunan Kehutanan Di Indonesia : Intervensi IMF Dan World Bank Dalam Reformasi Kebijakan Pembangunan Kehutanan, World Resources Institute, April 6, 1999
Hariadi Kartodiharjo. Masalah Perijinan dan Reformasi Birokrasi Kehutanan, 2009
Moekti H Soejachmoen & Omar Sari. Mencari Pohon Uang: CDM Kehutanan di Indonesia, Pelangi Indonesia, 2003
Tom Griffiths. “RED”: AWAS ?; “Pencegahan deforestasi” dan hak-hak Masyarakat adat dan komunitas lokal, FPP 2007
UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Minggu, 06 Maret 2011

Hutan

Hutan


Sebuah hutan di Pulau San Juan, Amerika Serikat.
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting.
Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar.
Hutan merupakan suatu kumpulan tetumbuhan, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas.
Pohon sendiri adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu berbeda dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon juga berbeda karena secara mencolok memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk (mahkota daun) yang jelas.
Suatu kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi lingkungan yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika kita berada di hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembab, yang berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan. Ini berarti segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup lain termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan.
Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu, tetapi masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budidaya tanaman pertanian pada lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. Sebagai fungsi penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat bertumbuhnya berjuta tanaman.
Bagian-bagian hutan


Hutan Slurup di gunung Wilis pada sisi Kabupaten Kediri, tepatnya di daerah Dolo kecamatan Mojo. Hutan dengan banyak aliran air, berhawa dingin dan tingkat kelembaban rendah
Bayangkan mengiris sebuah hutan secara melintang. Hutan seakan-akan terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian di atas tanah, bagian di permukaan tanah, dan bagian di bawah tanah.
Jika kita menelusuri bagian di atas tanah hutan, maka akan terlihat tajuk (mahkota) pepohonan, batang kekayuan, dan tumbuhan bawah seperti perdu dan semak belukar. Di hutan alam, tajuk pepohonan biasanya tampak berlapis karena ada berbagai jenis pohon yang mulai tumbuh pada saat yang berlainan.
Di bagian permukaan tanah, tampaklah berbagai macam semak belukar, rerumputan, dan serasah. Serasah disebut pula 'lantai hutan', meskipun lebih mirip dengan permadani. Serasah adalah guguran segala batang, cabang, daun, ranting, bunga, dan buah. Serasah memiliki peran penting karena merupakan sumber humus, yaitu lapisan tanah teratas yang subur. Serasah juga menjadi rumah dari serangga dan berbagai mikro organisme lain. Uniknya, para penghuni justru memakan serasah, rumah mereka itu; menghancurkannya dengan bantuan air dan suhu udara sehingga tanah humus terbentuk.
Di bawah lantai hutan, kita dapat melihat akar semua tetumbuhan, baik besar maupun kecil, dalam berbagai bentuk. Sampai kedalaman tertentu, kita juga dapat menemukan tempat tinggal beberapa jenis binatang, seperti serangga, ular, kelinci, dan binatang pengerat lain.
Mengapa hutan tidak tampak sama?
Iklim, tanah, dan bentuk bentang lahan di setiap daerah adalah khas. Sebuah daerah mungkin beriklim sangat basah, sedangkan suatu tempat lain luar biasa keringnya. Daerah A mungkin bertanah rawa, daerah B sebaliknya berkapur. Ada yang berupa gunung terjal, sementara yang lain merupakan dataran rendah.
Semua tumbuhan dan satwa di dunia, pun manusia, harus menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat mereka berada. Jika suatu jenis tumbuhan atau satwa mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik di daerah tertentu, maka mereka akan dapat berkembang di daerah tersebut. Jika tidak, mereka justru tersingkir dari tempat ini. Contohnya, kita menemukan pohon bakau di daerah genangan dangkal air laut karena spesies pohon ini tahan garam dan memiliki akar napas yang sesuai dengan sifat tanah dan iklim panas pantai.
Sebaliknya, cara berbagai tumbuhan dan satwa bertahan hidup akan mempengaruhi lingkungan fisik mereka, terutama tanah, walaupun secara terbatas. Tumbuhan dan satwa yang berbagi tempat hidup yang sama justru lebih banyak saling mempengaruhi di antara mereka. Agar mampu bertahan hidup di lingkungan tertentu, berbagai tumbuhan dan hewan memang harus memilih antara bersaing dan bersekutu. Burung kuntul, misalnya, menghinggapi punggung banteng liar untuk mendapatkan kutu sebagai makanannya. Sebaliknya, banteng liar terbantu karena badannya terbebas dari sebuah sumber penyakit.
Jadi, hutan merupakan bentuk kehidupan yang berkembang dengan sangat khas, rumit, dan dinamik. Pada akhirnya, cara semua penyusun hutan saling menyesuaikan diri akan menghasilkan suatu bentuk klimaks, yaitu suatu bentuk masyarakat tumbuhan dan satwa yang paling cocok dengan keadaan lingkungan yang tersedia. Akibatnya, kita melihat hutan dalam beragam wujud klimaks, misalnya: hutan sabana, hutan meranggas, hutan hujan tropis, dan lain-lain.
Macam-macam Hutan
Rimbawan berusaha menggolong-golongkan hutan sesuai dengan ketampakan khas masing-masing. Tujuannya untuk memudahkan manusia dalam mengenali sifat khas hutan. Dengan mengenali betul-betul sifat sebuah hutan, kita akan memperlakukan hutan secara lebih tepat sehingga hutan dapat lestari, bahkan terus berkembang.
Ada berbagai jenis hutan. Pembedaan jenis-jenis hutan ini pun bermacam-macam pula. Misalnya:
Menurut asal
Kita mengenal hutan yang berasal dari biji, tunas, serta campuran antara biji dan tunas. Hutan yang berasal dari biji disebut juga ‘hutan tinggi’ karena pepohonan yang tumbuh dari biji cenderung menjadi lebih tinggi dan dapat mencapai umur lebih lanjut. Hutan yang berasal dari tunas disebut ‘hutan rendah’ dengan alasan sebaliknya. Hutan campuran, oleh karenanya, disebut ‘hutan sedang’.
Penggolongan lain menurut asal adalah hutan perawan (hutan primer) dan hutan sekunder. Hutan perawan merupakan hutan yang masih asli dan belum pernah dibuka oleh manusia. Hutan sekunder adalah hutan yang tumbuh kembali secara alami setelah ditebang atau kerusakan yang cukup luas. Akibatnya, pepohonan di hutan sekunder sering terlihat lebih pendek dan kecil. Namun jika dibiarkan tanpa gangguan untuk waktu yang panjang, kita akan sulit membedakan hutan sekunder dari hutan primer. Di bawah kondisi yang sesuai, hutan sekunder akan dapat pulih menjadi hutan primer setelah melewati ratusan tahun.


Menurut cara permudaan (tumbuh kembali)
Hutan dapat dibedakan sebagai hutan dengan permudaan alami, permudaan buatan, dan permudaan campuran. Hutan dengan permudaan alami berarti bunga pohon diserbuk dan biji pohon tersebar bukan oleh manusia, melainkan oleh angin, air, atau hewan. Hutan dengan permudaan buatan berarti manusia sengaja menyerbukkan bunga serta menyebar biji untuk menumbuhkan kembali hutan. Hutan dengan permudaan campuran berarti campuran kedua jenis sebelumnya.
Di daerah beriklim sedang, perbungaan terjadi dalam waktu singkat, sering tidak berlangsung setiap tahun, dan penyerbukannya lebih banyak melalui angin. Di daerah tropis, perbungaan terjadi hampir sepanjang tahun dan hampir setiap tahun. Sebagai pengecualian, perbungaan pohon-pohon dipterocarp (meranti) di Kalimantan dan Sumatera terjadi secara berkala. Pada tahun tertentu, hutan meranti berbunga secara berbarengan, tetapi pada tahun-tahun berikutnya meranti sama sekali tidak berbunga. Musim bunga hutan meranti merupakan kesempatan emas untuk melihat biji-biji meranti yang memiliki sepasang sayap melayang-layang terbawa angin.
c. Menurut susunan jenis
Berdasarkan susunan jenisnya, kita mengenal hutan sejenis dan hutan campuran. Hutan sejenis, atau hutan murni, memiliki pepohonan yang sebagian besar berasal dari satu jenis, walaupun ini tidak berarti hanya ada satu jenis itu. Hutan sejenis dapat tumbuh secara alami baik karena sifat iklim dan tanah yang sulit maupun karena jenis pohon tertentu lebih agresif. Misalnya, hutan tusam (pinus) di Aceh dan Kerinci terbentuk karena kebakaran hutan yang luas pernah terjadi dan hanya tusam jenis pohon yang bertahan hidup. Hutan sejenis dapat juga merupakan hutan buatan, yaitu hanya satu atau sedikit jenis pohon utama yang sengaja ditanam seperti itu oleh manusia, seperti dilakukan di lahan-lahan HTI (hutan tanaman industri).
Penggolongan lain berdasarkan pada susunan jenis adalah hutan daun jarum (konifer) dan hutan daun lebar. Hutan daun jarum (seperti hutan cemara) umumnya terdapat di daerah beriklim dingin, sedangkan hutan daun lebar (seperti hutan meranti) biasa ditemui di daerah tropis.
Menurut umur
Kita dapat membedakan hutan sebagai hutan seumur (berumur kira-kira sama) dan hutan tidak seumur. Hutan alam atau hutan permudaan alam biasanya merupakan hutan tidak seumur. Hutan tanaman boleh jadi hutan seumur atau hutan tidak seumur.
Berdasarkan letak geografisnya:
• hutan tropika, yakni hutan-hutan di daerah khatulistiwa
• hutan temperate, hutan-hutan di daerah empat musim (antara garis lintang 23,5º - 66º).
• hutan boreal, hutan-hutan di daerah lingkar kutub.


Berdasarkan sifat-sifat musimannya:
• hutan hujan (rainforest), dengan banyak musim hujan.
• hutan selalu hijau (evergreen forest)
• hutan musim atau hutan gugur daun (deciduous forest)
• hutan sabana (savannah forest), di tempat-tempat yang musim kemaraunya panjang. Dll.
Berdasarkan ketinggian tempatnya:
• hutan pantai (beach forest)
• hutan dataran rendah (lowland forest)
• hutan pegunungan bawah (sub-montane forest)
• hutan pegunungan atas (montane forest)
• hutan kabut (cloud forest)
• hutan elfin (alpine forest)
Berdasarkan keadaan tanahnya:
• hutan rawa air-tawar atau hutan rawa (freshwater swamp-forest)
• hutan rawa gambut (peat swamp-forest)
• hutan rawa bakau, atau hutan bakau (mangrove forest)
• hutan kerangas (heath forest)
• hutan tanah kapur (limestone forest), dan lainnya
Berdasarkan jenis pohon yang dominan:
• hutan jati (teak forest), misalnya di Jawa Timur.
• hutan pinus (pine forest), di Aceh.
• hutan dipterokarpa (dipterocarp forest), di Sumatra dan Kalimantan.
• hutan ekaliptus (eucalyptus forest) di Nusa Tenggara. Dll.
Berdasarkan sifat-sifat pembuatannya:
• hutan alam (natural forest)
• hutan buatan (man-made forest), misalnya:
o hutan rakyat (community forest)
o hutan kota (urban forest)
o hutan tanaman industri (timber estates atau timber plantation) Dll.


Hutan Kota di Singapura
Berdasarkan tujuan pengelolaannya:
• hutan produksi, yang dikelola untuk menghasilkan kayu ataupun hasil hutan bukan kayu (non-timber forest product)
• hutan lindung, dikelola untuk melindungi tanah dan tata air
o Taman Nasional
• hutan suaka alam, dikelola untuk melindungi kekayaan keanekaragaman hayati atau keindahan alam
o Cagar alam
o Suaka alam
• hutan konversi, yakni hutan yang dicadangkan untuk penggunaan lain, dapat dikonversi untuk pengelolaan non-kehutanan.


Lereng gunung Arjuna di wilayah Sumberawan, kecamatan Singosari, kabupaten Malang
Dalam kenyataannya, seringkali beberapa faktor pembeda itu bergabung, dan membangun sifat-sifat hutan yang khas. Misalnya, hutan hujan tropika dataran rendah (lowland tropical rainforest), atau hutan dipterokarpa perbukitan (hilly dipterocarp forest). Hutan-hutan rakyat, kerap dibangun dalam bentuk campuran antara tanaman-tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian jangka pendek, sehingga disebut dengan istilah wanatani atau agroforest.
Jenis-jenis hutan di Indonesia
Berdasarkan biogeografi
Kepulauan Nusantara adalah ketampakan alam yang muncul dari proses pertemuan antara tiga lempeng bumi. Hingga hari ini pun, ketiga lempeng bumi itu masih terus saling mendekati. Akibatnya, antara lain, gempa bumi sering terjadi di negeri kepulauan ini.
Sejarah pembentukan Kepulauan Nusantara di sabuk khatulistiwa itu menghasilkan tiga kawasan biogeografi utama, yaitu: Paparan Sunda, Wallacea, dan Paparan Sahul. Masing-masing kawasan biogeografi adalah cerminan dari sebaran bentuk kehidupan berdasarkan perbedaan permukaan fisik buminya.
• Kawasan Paparan Sunda (di bagian barat)
Paparan Sunda adalah lempeng bumi yang bergerak dari Kawasan Oriental (Benua Asia) dan berada di sisi barat Garis Wallace. Garis Wallace merupakan suatu garis khayal pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sunda dan di bagian lebih timur Indonesia. Garis ini bergerak dari utara ke selatan, antara Kalimantan dan Sulawesi, serta antara Bali dan Lombok. Garis ini mengikuti nama biolog Alfred Russel Wallace yang, pada 1858, memperlihatkan bahwa sebaran flora fauna di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali lebih mirip dengan yang ada di daratan Benua Asia.
• Kawasan Paparan Sahul (di bagian timur)
Paparan Sahul adalah lempeng bumi yang bergerak dari Kawasan Australesia (Benua Australia) dan berada di sisi timur Garis Weber. Garis Weber adalah sebuah garis khayal pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sahul dan di bagian lebih barat Indonesia. Garis ini membujur dari utara ke selatan antara Kepulauan Maluku dan Papua serta antara Nusa Tenggara Timur dan Australia. Garis ini mengikuti nama biolog Max Weber yang, sekitar 1902, memperlihatkan bahwa sebaran flora fauna di kawasan ini lebih serupa dengan yang ada di Benua Australia.
• Kawasan Wallacea / Laut Dalam (di bagian tengah)
Lempeng bumi pinggiran Asia Timur ini bergerak di sela Garis Wallace dan Garis Weber. Kawasan ini mencakup Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara), dan Kepulauan Maluku. Flora fauna di kawasan ini banyak merupakan jenis-jenis endemik (hanya ditemukan di tempat bersangkutan, tidak ditemukan di bagian lain manapun di dunia). Namun, kawasan ini memiliki juga unsur-unsur baik dari Kawasan Oriental maupun dari Kawasan Australesia. Wallace berpendapat bahwa laut tertutup es pada Zaman Es sehingga tumbuhan dan satwa di Asia dan Australia dapat menyeberang dan berkumpul di Nusantara. Kalaupun jenis Asia tetap lebih banyak terdapat di bagian barat dan jenis Australia di bagian timur, hal ini karena Kawasan Wallacea sesungguhnya dulu merupakan palung laut yang teramat dalam sehingga fauna sukar untuk melintasinya dan flora berhenti menyebar.
Berdasarkan iklim
Dari letak garis lintangnya, Indonesia memang termasuk daerah beriklim tropis. Namun, posisinya di antara dua benua dan di antara dua samudera membuat iklim kepulauan ini lebih beragam. Berdasarkan perbandingan jumlah bulan kering terhadap jumlah bulan basah per tahun, Indonesia mencakup tiga daerah iklim, yaitu:
• Daerah tipe iklim A (sangat basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Oktober dan Januari, kadang hingga Februari. Daerah ini mencakup Pulau Sumatera; Kalimantan; bagian barat dan tengah Pulau Jawa; sisi barat Pulau Sulawesi.
• Daerah tipe iklim B (basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Mei dan Juli, serta Agustus atau September sebagai bulan terkering. Daerah ini mencakup bagian timur Pulau Sulawesi; Maluku; sebagian besar Papua.
• Daerah tipe iklim C (agak kering) yang lebih sedikit jumlah curah hujannya, sedangkan bulan terkeringnya lebih panjang. Daerah ini mencakup Jawa Timur; sebagian Pulau Madura; Pulau Bali; Nusa Tenggara; bagian paling ujung selatan Papua.
Berdasarkan perbedaan iklim ini, Indonesia memiliki hutan gambut, hutan hujan tropis, dan hutan muson.
Hutan gambut ada di daerah tipe iklim A atau B, yaitu di pantai timur Sumatera, sepanjang pantai dan sungai besar Kalimantan, dan sebagian besar pantai selatan Papua.
Hutan hujan tropis menempati daerah tipe iklim A dan B. Jenis hutan ini menutupi sebagian besar Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara, dan Papua. Di bagian barat Indonesia, lapisan tajuk tertinggi hutan dipenuhi famili Dipterocarpaceae (terutama genus Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops, dan Hopea). Lapisan tajuk di bawahnya ditempati oleh famili Lauraceae, Myristicaceae, Myrtaceae, dan Guttiferaceae. Di bagian timur, genus utamanya adalah Pometia, Instia, Palaquium, Parinari, Agathis, dan Kalappia.
Hutan muson tumbuh di daerah tipe iklim C atau D, yaitu di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, sebagian NTT, bagian tenggara Maluku, dan sebagian pantai selatan Irian Jaya. Spesies pohon di hutan ini seperti jati (Tectona grandis), walikukun (Actinophora fragrans), ekaliptus (Eucalyptus alba), cendana (Santalum album), dan kayuputih (Melaleuca leucadendron).
Berdasarkan sifat tanahnya
Berdasarkan sifat tanah, jenis hutan di Indonesia mencakup hutan pantai, hutan mangrove, dan hutan rawa.
• Hutan pantai terdapat sepanjang pantai yang kering, berpasir, dan tidak landai, seperti di pantai selatan Jawa. Spesies pohonnya seperti ketapang (Terminalia catappa), waru (Hibiscus tiliaceus), cemara laut (Casuarina equisetifolia), dan pandan (Pandanus tectorius).
• Hutan mangrove Indonesia mencapai 776.000 ha dan tersebar di sepanjang pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera, sepanjang pantai Kalimantan, dan pantai selatan Papua. Jenis-jenis pohon utamanya berasal dari genus Avicennia, Sonneratia, dan Rhizopheria.
• Hutan rawa terdapat di hampir semua pulau, terutama Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Spesies pohon rawa misalnya adalah nyatoh (Palaquium leiocarpum), kempas (Koompassia spp), dan ramin (Gonystylus spp).
Berdasarkan pemanfaatan lahan
Luas hutan Indonesia terus menciut, sebagaimana diperlihatkan oleh tabel berikut: Luas Penetapan Kawasan Hutan oleh Departemen Kehutanan Tahun Luas (Hektar) 1950 162,0 juta 1992 118,7 juta 2003 110,0 juta 2005 93,92 juta
Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit, kawasan hutan Indonesia yang mencapai 93,92 juta hektar pada 2005 itu dapat dirinci pemanfaatannya sebagai berikut:
1. Hutan tetap : 88,27 juta ha
2. Hutan konservasi : 15,37 juta ha
3. Hutan lindung : 22,10 juta ha
4. Hutan produksi terbatas : 18,18 juta ha
5. Hutan produksi tetap : 20,62 juta ha
6. Hutan produksi yang dapat dikonversi : 10,69 juta ha.
7. Areal Penggunaan Lain (non-kawasan hutan) : 7,96 juta ha.
Lahan hutan terluas ada di Papua (32,36 juta ha), diikuti berturut-turut oleh Kalimantan (28,23 juta ha), Sumatera (14,65 juta ha), Sulawesi (8,87 juta ha), Maluku dan Maluku Utara (4,02 juta ha), Jawa (3,09 juta ha), serta Bali dan Nusa Tenggara (2,7 juta ha).

Salah satu jalan setapak untuk memasuki hutan Slurup, Kabupaten Kediri

Hutan di lereng gunung Arjuna dengan latar belakang puncak Mahameru

Kamis, 03 Maret 2011

Kondisi Hutan Indonesia Semakin Parah

Nasional
Menhut Zulkifli Hasan:
Kondisi Hutan Indonesia Memprihatinkan
Sebagian hutan sudah gundul dan tidak ditumbuhi pohon lagi.
Minggu, 24 Januari 2010, 23:04 WIB
Amril Amarullah
hutan (www.warsi.or.id)
VIVAnews -- Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Zulkifli Hasan menyatakan, kondisi hutan yang tersebar di berbagai daerah Indonesia saat ini memprihatinkan. Sebagian hutan sudah gundul dan tidak ditumbuhi pohon lagi.

"Hutan di negara kita saat ini kondisinya sangat memprihatinkan," kata Menhut saat memberikan sambutan penanaman pohon di monumen gunung hambalang, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu 24 Januari 2010.

Bahkan, menurut Zulkifli, sedikitnya 47 juta kondisi hutannya sudah rusak, dan 42 juta keadaannya sudah tidak berpohon lagi, akibat penggundulan. "Sehingga tidak heran, di negara Indonesia banyak  bencana alam dan longsor," ujarnya.

Karena itu, guna menanggulangi adanya bencana alam dan longsor, pihaknya menghimbau masyarakat Indonesia terutama Bogor untuk menanam pohon sebanyak mungkin.

"Pada tahun 2010 ini, 500 hektar hutan yang tidak berhutan lagi kami rencanakan akan ditanami dengan berbagai macam pohon dan tanaman," jelasnya.

Namun, kata dia, dalam merealisasikan agar masyarakat Indonesia menanam pohon banyak kendala di lapangan. Salah satunya, adanya makelar kasus (markus) atau calo-calo yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Akibatnya, pohon yang baru ditanam tidak berbuah dan tidak tumbuh.