Laman

Selasa, 15 Februari 2011

laporan KSDAH

PELESTARIANAN KAYU ULIN (Eusideroxylon zwageri) di KALIMANTAN YANG KINI TERANCAM PUNAH KEBERADAANYA


Penyusun:
Erfan Handani (E44090011)
Dewi Rengganis (E44090012)









DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI
DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pelestarian Kayu Ulin di Kalimantan”. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Konservasi Sumber Daya alam hayati.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi Mahasiswa dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.


Bogor,   Desember 2010


          
Penyusun


      









PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) merupakan jenis kayu yang tak mudah lapuk baik didalam air maupun di daratan. Oleh karena itu, kayu ini diburu untuk bahan bangunan, terutama sebagai penyangga rumah yang didirikan diatas daerah berawa di Pulau Kalimantan. Akibat terus diperjualbelikan, keberadaan kayu ulin kian sulit diperoleh dan harganya makin mahal. Di sejumlah daerah, kayu ulin dilarang untuk dikomersialkan. Kayu yang diperdagangkan dan terkenal adalah kayu-kayu yang usianya ratusan tahun yang diambil dari habitat aslinya di hutan. Kayu ulin tersebar di wilayah Kalimantan dan sekitarnya. Berdasarkan keterangan yang diperoleh, kayu ulin berasal dari tebangan lama di wilayah Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu, serta Kabupaten Kotabaru atau wilayah pesisir. Kayu ulin tersebut dipasok dari hutan pinggiran kota Samarinda. Kini kayu ulin masuk dalam status hampir punah (Endangered) akibat eksploitasi yang berlebihan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya konservasi agar kayu ulin tidak punah.
Kalimantan Timur yang luasnya 211.440 km2, merupakan propinsi terbesar kedua setelah Papua. Luasnya mencakup 11% dari total luas pulau Kalimantan, serta memiliki kawasan hutan yang cukup luas, yaitu 20,62 juta ha. Kawasan hutan yang dihuni oleh beragam flora unik dan menarik ini, semakin terancam keberadaannya dengan adanya berbagai permasalahan seperti kebakaran dan perambahan. Kawasan hutan terluas terdapat di Kabupaten Kutai yaitu 10,72 juta ha atau sekitar 51,99% luas kawasan hutan Kalimantan Timur. Salah satu areal penting di kawasan ini adalah Taman Nasional Kutai yang pernah mengalami kebakaran hebat pada tahun 1983 dan 1997/1998.
Taman Nasional Kutai yang terletak di Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang, memiliki luas 198.629 ha, sesuai SK Menhut no. 325/Kpts-II/95 tanggal 29 Juni 1995. Kawasan taman nasional ini terdiri dari daratan, rawa, dan sungai yang kaya akan flora dan fauna. Dari segi fauna, terbukti 11 dari 13 jenis primata Borneo terdapat di kawasan ini, sementara dari segi flora, antara lain terdapat jenis eksotik seperti kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) yang merupakan kebanggaan masyarakat Kalimantan. Dari segi habitat kawasan ini juga memiliki tipe yang bervariasi mulai dari hutan mangrove, hutan kerangas, hutan hujan dataran rendah, sampai habitat rawa, namun sayangnya kawasan ini mengalami kebakaran berulang kali, karena mengandung batu bara, dan akibat ulah manusia. Kebakaran dan perambahan hutan menyebabkan luas kawasan ini tidak lagi nyata seperti tersebut di atas, namun demikian bukan berarti kawasan TN Kutai sudah tidak menarik lagi, bahkan dengan kejadian tersebut, kawasan ini menjadi sangat menarik untuk dikaji terutama dari segi ekologi dan dinamika populasinya. Tumbuhan kayu komersial seperti ulin sangat layak dan penting untuk dikaji mengingat keberadaannya di habitat alami yang semakin terancam, sementara permintaan pasar terus meningkat.
Tujuan                                                                                                                            
1.      Mencegah kepunahan kayu ulin yang bersifat endemik
2.      Mengetahui upaya-upaya agar kayu ulin tidak punah
3.      Penelitian ini bertujuan untuk mengamati salah satu aspek dinamika populasi ulin, yaitu pola sebarannya serta tumbuh-tumbuhan yang diduga berasosiasi dengannya.
4.      Dapat dijadikan salah satu acuan dalam tindakan konservasi ulin selanjutnya, baik secara in-situ maupun ex-situ.







TINJAUAN PUSTAKA

Kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri) yang sering disebut kayu besi karena sifat  kayunya yang kuat dan awet, termasuk dalam famili Lauraceaea. Tumbuh secara alami di hutan Kalimantan, Jambi, Sumatera Selatan, dan Bangka & Belitung. Tinggi pohon dapat mencapai 35 m dengan panjang batang bebas cabang 5-20 m, diameter sampai 100 cm, dan kadang-kadang sampai 150 cm. Ulin umumnya tumbuh pada ketinggian 5 – 400 m di atas permukaan laut dengan medan datar sampai miring, tumbuh terpencar atau mengelompok dalam hutan campuran. Ulin sangat jarang dijumpai di habitat rawa-rawa.
Proses permudaan alami di hutan bekas tebangan umumnya kurang berjalan dengan baik. Perkecambahan biji Ulin membutuhkan waktu cukup lama sekitar 6-12 bulan dengan persentase keberhasilan relatif rendah, produksi buah tiap pohon umumnya juga sedikit. Penyebaran permudaan alam secara umum cenderung mengelompok. Tumbuh di dataran rendah primer dan hutan sekunder sampai dengan ketinggian 500m. Itu lebih suka ditiriskan baik tanah, tanah liat berpasir ke tanah liat, kadang-kadang batu kapur. Hal ini umumnya ditemukan di sepanjang sungai dan bukit-bukit yang berdekatan. Hal ini membutuhkan rata-rata curah hujan tahunan 2500-4000 mm. Keistimewaan kayu Ulin, selain kuat dan awet (termasuk dalam kelas kuat I dan kelas awet I) adalah tahan terhadap serangan rayap dan serangga penggerek. Kayu Ulin juga tahan terhadap perubahan suhu, kelembaban, dan pengaruh air laut. Karenanya jenis ini banyak digunakan untuk konstruksi jembatan, dermaga, bangunan yang terendam air, bantalan rel kereta api, perkapalan, dll. Ulin juga digunakan sebagai bahan sirap (atap) karena mudah dibelah. Namun, sebagai bahan baku furniture jarang dijumpai karena sifat kayunya yang sangat berat dan keras. Kayu Ulin dapat digergaji dan diserut dengan hasil baik, tetapi sangat cepat menumpulkan alat-alat karena kayunya sangat keras. Kayu Ulin dapat dibor dan dibubut dengan baik, tetapi sukar direkat dengan perekat sintetik dan harus dibor dahulu sebelum disekrup atau dipaku, karena cenderung untuk pecah dalam arah radial.
Taman Nasional Kutai atau biasa disingkat TNK adalah sebuah taman nasional yang berada di wilayah Kabupaten Kutai Timur dan sebagian kecil wilayah Kota Bontang yang memiliki lahan total seluas 198.629 ha. Kantor atau balai pengeloloa TNK berada di Kota Bontang. Namun seiring masuk tahun 2000-an, wilayah TNK ini mulai dirambah penduduk untuk dijadikan pemukiman dan lahan perkebunan sehingga wilayah TNK yang masih benar-benar asli mungkin jauh dibawah lahan yang seluas 198.629 ha pada akhir tahun 1990-an. Kawasan ini semula berstatus sebagai Hutan Persediaan dengan luas 2.000.000 ha berdasarkan Surat Keputusan (SK) Pemerintah Hindia Belanda (GB) Nomor: 3843/AZ/1934, yang kemudian oleh Pemerintah Kerajaan Kutai ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa Kutai melalui SK (ZB) Nomor: 80/22-ZB/1936 dengan luas 306.000 ha.
Sejak keberadaan TN Kutai memang tidak pernah lepas dari konflik kepentingan. Berdasarkan data yang ada, dalam kurun waktu 63 tahun terakhir terhitung sejak tahun 1934 sampai tahun 1997 kawasan ini terus mengalami pengurangan luas secara drastis seperti tersaji dalam Tabel di bawah ini.
Institusi
Keputusan
Status
Luas (ha)
Keterangan
Pemerintah Hindia Belanda
SK (GB) No. 3843/Z/1934
Hutan Persediaan
2.000.000
Pemerintah Kerajaan Kutai
SK (ZB) No. 80/22-B/1936
306.000
Ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa
SK No. 110/UN/ 1957, tanggal 14 Juni 1957
Suaka Margasatwa Kutai
306.000
Menteri Pertanian
SK No. 30/Kpts/ Um/6/1971, tanggal 23 Juli 1971
Suaka Margasatwa Kutai
200.000
Dilepas 106.000 ha, 60.000 ha yang masih asli untuk HPH PT Kayu Mas dan sisanya untuk perluasan Industri pupuk dan gas alam. 100.000 ha yang dikelola oleh HPH pada tahun 1969 kemudian dikembalikan ke SMK
Menteri Pertanian
SK. No. 736/Mentan/X/1982
Calon Taman Nasional Kutai
200.000
Dideklarasikan pada Kongres Taman Nasional III Sedunia di Bali sebagai satu dari 11 calon TN
Menteri Kehutanan
SK. No.435/Kpts/XX/1991
Calon Taman Nasional Kutai
198.629
Luasnya dikurangi 1.371 ha untuk perluasan Bontang dan PT Pupuk Kaltim
Menteri Kehutanan
SK Menhut No.325/Kpts-II/1995
Taman Nasional Kutai
198.629
Perubahan fungsi dan penunjukan SMK menjadi Taman Nasional Kutai
Menteri Kehutanan
Surat No.997/Menhut-VII/1997
Taman Nasional Kutai
198.629
Izin prinsip pelepasan kawasan TN Kutai seluas 25 ha untuk keperluan pengembangan fasilitas pemerintah daerah Bontang



Letak, topografi dan penutupan lahan
TN Kutai membentang di sepanjang garis khatulistiwa mulai dari pantai Selat Makassar sebagai batas bagian timur menuju arah daratan sepanjang kurang dari 65 km. Kawasan ini juga dibatasi Sungai Sangatta di sebelah utara, sebelah selatan dibatasi Hutan Lindung Bontang dan HPH PT Surya Hutani Jaya, dan sebelah barat dibatasi ex HTI PT Kiani Lestari dan HPH PT Surya Hutani Jaya, seperti terlihat pada Peta 1.
TN Kutai secara geografis berada di 0o7’54” - 0o33’53” LU dan 116o58’48” - 117o35’29” BT, sedangkan secara administrasi pemerintahan, kawasan dengan luas 198.629 ha ini terletak di Kabupaten Kutai Timur (± 80%), Kabupaten Kutai Kartanegara ( ±17,48%) dan Kota Bontang (±2,52%), seperti terlihat pada Peta 2.
Berdasarkan hasil pengolahan citra radar tahun 2005, diperoleh informasi bahwa secara umum TN Kutai memiliki topografi datar yang tersebar hampir di seluruh luasan kawasan (92%) dan topografi bergelombang hingga berbukit-bukit tersebar pada bagian tengah kawasan yang membentang arah utara selatan (8%). Sebagian besar kawasan memiliki kelas ketinggian antara 0 – 100 m dpl (61%) yang tersebar pada bagian timur dan barat kawasan. Tingkat ketinggian bagian tengah kawasan antara 100 – 250 m dpl (39%).
Deskripsi penutupan lahan paling mutakhir dihasilkan dari interpretasi citra landsat yang dilakukan pada bulan September 2005. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat ini, luas kawasan TN Kutai bertambah menjadi 198.803,59 ha. Penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 3 dan Peta citra landsat dapat dilihat pada Peta 3.




Deskripsi Penutupan Lahan TN Kutai
Kategori
Luas (ha)
 % Kawasan
Keterangan
Hutan primer
59.202,14
29,78
Terdapat di bagian tengah kawasan dan menyebar ke arah barat sampai utara.
Hutan sekunder
85.931,03
43,22
Terdapat di bagian barat kawasan yang berbatasan dengan wilayah konsesi HPH
Belukar
28.952,26
14,56
Akibat aktivitas pembalakan, pemukiman, dan kegiatan pertanian lahan kering oleh masyarakat dan bencana kebakaran.
Semak
2.452,68
1,23
705,47
0,35
4.712
2,37
Belukar rawa
1.802,88
0,91
5.131,55
2,58
Formasi yang masih utuh terdapat di Desa Teluk Pandan hingga Teluk Kaba.Sedangkan di pesisir Desa Sangatta Selatan sangat rentan terhadap degradasi.
Tanah terbuka
329,38
0,17
Konversi mangrove menjadi lahan terbuka
1.205,53\
0,61
Terdapat di pesisir bagian selatan (Dusun Kanibungan) dan bagian tengah (Desa Sangkima).
155,81
0,08 \
Pertanian campuran
6.935,36
3,49
Lahan terbangun
577,94
0,29
73,08
0,04
Tidak ada data
636,01
0,32
Jumlah
198.803,59
100,00

Geologi dan Tanah
Berdasarkan peta geologi Kalimantan Timur, formasi geologi kawasan ini sebagian besar meliputi tiga bagian, yaitu:
  1. Bagian pantai terdiri dari batuan sedimen alluvial induk dan terumbu karang.
  2. Bagian tengah terdiri dari batuan miosen atas.
  3. Bagian barat terdiri dari batuan sedimen bawah.
Menurut pembagian tanah Kalimantan Timur, jenis tanah yag terdapat pada kawasan ini tersaji dalam Tabel dibawah ini.
Jenis Tanah TN Kutai
No.
Jenis Tanah
Bahan Induk
Fisiografi
1.
Alluvial
Batuan alluvial
Daratan
2.
Podsolik merah kuning
Batuan beku dan endapan
Bukit dan pegunungan lipatan
3.
Podsolik, latosol dan litosol
Batuan beku endapan metamorf
Pegunungan patahan
4.
Organosol gleihumus
Batuan alluvial
Daratan

Iklim dan Hidrologi
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, TN Kutai beriklim tipe B dengan nilai Q berkisar antara 14,3 % - 33, 3 %. urah hujan rata-rata setahun 1543,6 mm atau rata-rata 128,6 m dengan rata-rata hari hujan setahun 66,4 hari atau rata-rata bulanan 5,5 hari. Suhu rata-rata adalah 26oC (berkisar antara 21-34 derajat Celcius) dengan kelembaban relatif 67% - 9% dan kecepatan angin normal rata-rata 2 – 4 knot/jam (Site Plan Kepariwisataan TN Kutai, 1995). Sungai-sungai yang mengalir di dalam dan sekitar TN Kutai antara lain: Sungai Sangatta, Sungai Banu Muda, Sungai Sesayap, Sungai Sangkima, Sungai Kandolo, Sungai Selimpus, Sungai Teluk Pandan, Sungai Palakan, Sungai Menamang Kanan, Sungai Menamang Kiri, Sungai Tawan, Sungai Melawan dan Sungai Santan
Ekosistem
Tipe-tipe ekosistem yang terdapat di TN Kutai antara lain (BTNK, 2001):
  • Hutan Dipterocarpaceae campuran, sebagian besar terdapat di bagian timur kawasan. Pada kawasan bekas kebakaran telah muncul Macaranga dan perdu.
  • Hutan Ulin-Meranti-Kapur, terdapat di bagian barat TN Kutai yang drainase tanahnya kurang baik sampai sedang dan mencakup hampir 50% dari luas TN Kutai.
  • Vegetasi hutan mangrove dan tumbuhan pantai, terdapat di sepanjang pantai Selat Makassar
  • Vegetasi hutan rawa air tawar, tersebar pada daerah kantong-kantong sepanjang sungai dan mengandung endapan lumpur yang dibawa banjir.
  • Vegetasi hutan kerangas, terdapat di sebelah barat Teluk Kaba.
  • Vegetasi hutan tergenang apabila banjir, terdapat pada daerah di sepanjang sungai yang drainase tanahnya kurang baik sampai sedang.







METODOLOGI

Tempat survey terhadap kayu ulin dilakukan terfokus di Taman Nasional Kutai yang terletak di Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang.



HASIL DAN PEMBAHASAN

ADA kabar tak sedap bagi kalangan eksportir kayu ulin. Pekan silam, pemerintah resmi melarang seluruh pemanfaatan dan perdagangan kayu ulin, baik untuk perdagangan di dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor. Kebijakan itu diambil untuk mencegah punahnya populasi kayu ulin di hutan alam.
Hadi S. Pasaribu, Dirjen Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan, mengatakan, penebangan kayu ulin di hutan-hutan Kalimantan—kawasan endemi populasi kayu ulin—sudah kebablasan. Maklum, harga kayu ulin di pasaran sekarang sudah mencapai US$ 1.000 per meter kubik.
Popularitas kayu ulin semakin top setelah jenis kayu lainnya—jati, meranti, dan merbau—terus merosot populasinya. ”Produksi kayu nasional mulai seret. Ibaratnya, tak ada meranti ulin pun jadi,” ujar Hadi.
Pemerintah lalu membentuk tim untuk menginventarisasi pohon ulin yang tersebar di seluruh hutan di Kalimantan. ”Nantinya, hasil inventarisasi itu bisa dijadikan alat kontrol untuk penggunaan kayu ulin,” katanya. Kayu ulin termasuk tanaman yang tumbuh dalam jangka waktu lama (bisa lebih dari 50 tahun) dan belum banyak diketahui cara budi dayanya.
Selama ini, aksi illegal logging telah membuat stok kayu di hutan alam berkurang banyak. Akibatnya, produksi kayu nasional turun drastis. Ekspor kayu juga tertekan. Selama semester I-2007, volume ekspor kayu hanya setengah dari pencapaian semester I-2006. Pada Januari-Juni 2007, misalnya, ekspor panel kayu hanya sebanyak 1,31 juta meter kubik (m3), dengan devisa US$ 659,9 juta. Padahal di periode yang sama tahun 2006, angkanya mencapai 3,48 juta m3 senilai US$ 1,6 miliar.
Volume ekspor kayu pertukangan di semester pertama tahun ini juga cuma 798.262 m3 senilai US$ 545,94 juta. Itu artinya, jauh di bawah kinerja 2006 yang US$ 2,3 juta m3 dengan nilai devisa US$ 1,29 miliar.
Kalau stok kayu sudah tipis begitu, maka posisi si ulin semakin terancam. Namun, larangan pemanfaatan kayu ulin sebenarnya telah berlaku sejak tahun 2006. Menteri Kehutanan MS Kaban sudah menerbitkan surat edaran tanggal 9 Maret 2006 yang ditujukan kepada empat gubernur di Kalimantan. Isinya, pohon ulin yang tumbuh di areal HPH yang masih aktif dan mempunyai izin boleh ditebang asalkan telah memiliki diameter 60 sentimeter. Tapi, Dephut tetap melarang kayu ulin dijual di luar Kalimantan.
Kebijakan itu, dipertegas melalui Surat Edaran Dirjen Bina Produksi Kehutanan Dephut pada 15 Agustus 2006. Tapi, ya itu tadi, kedua surat edaran itu hanya ditujukan kepada jajaran pemda di Kalimantan.
Makanya, Departemen Perdagangan tak tahu-menahu soal peraturan itu. Larangan ekspor ulin yang dikeluarkan Dephut baru diketahui Depdag saat Hadi S. Pasaribu berbicara pada satu seminar kehutanan di Tokyo, Jepang, awal Februari lalu.
Makanya, Depdag keukeuh bahwa ekspor kayu ulin tidak dilarang. Keputusan itu ditegaskan lewat Peraturan Menteri Perdagangan pada 14 Februari 2007. Tumpang tindih kebijakan pun terjadi. Ujungnya, terjadi pertemuan antara Diah Maulida, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Depdag, dengan Hadi S. Pasaribu, dua pekan lalu. Untunglah, kedua departemen akhirnya setuju membekukan sementara perdagangan kayu ulin. Lain halnya dengan di TNK,
TNK bisa disebut surga bagi tanaman ulin. Dengan luas 198.629 ha, separonya berupa hutan ulin-meranti-kapur. Tak salah jika dikatakan TNK memiliki hutan ulin terluas di Indonesia. Di sini, ulin tersebar hampir di seluruh kawasan. Biasanya berasosiasi dengan jenis famili Dipterocarpaceae seperti meranti (Shorea spp), keruing (Dipterocarpus cornutus), dan kapur (Dryobalanops aromatika). TNK juga memiliki fosil hidup, sebatang ulin raksasa yang berumur lebih 1000 tahun. Ulin ini tumbuh di kawasan wisata alam Sangkima, 30 km dari Jalan Bontang-Sangatta, dan memiliki diameter 2,47 meter. Dua kali lingkaran tangan manusia normal. Sayang, ujung batangnya terbelah akibat tersambar petir. Namun, bagian bawahnya tumbuh dengan subur.
Kini, sulit menemukan ulin berdiameter lebih 80 cm. Biasanya setelah mencapai diameter 60 cm, ulin ditebang. Nilai ekonomis kayu ini sangat tinggi akibat tingginya permintaan. Di pasaran internasional 1 meter kubik ulin harganya mencapai $ 1000. Karena tingginya nilai jual ini, hutan ulin di TNK sering dijarah. Berdasarkan data TNK tahun 2001, pada tahun 1999 ada 7.280 meter kubik ulin yang dicuri. Tahun 2000 meningkat menjadi 13.805, dan tahun 2001 menjadi 19.825. Ini belum termasuk penjarahan kayu lain seperti meranti dan bengkirai. Terbatasnya jumlah petugas penjaga hutan, menurut Sugeng Jinarto –jagawana Balai TNK wilayah Sangatta—membuat petugas sulit mengawasi pencurian kayu dan ilegal lodging di dalam kawasan TNK.
Berdasarkan penelitian Tagawa Hideo dan Nengah Wirawan dari WWF, potensi ulin di TNK cukup besar. Paska kebakaran hutan tahun 1983 di TNK misalnya, volume kayu ulin minimal 155 meter kubik per ha. Sedang volume maksimal mencapai 815. Itu berarti setiap ha ada sekitar 542 batang kayu ulin. Keberadaan ulin, menurut Wirawan, bisa dipertahankan, asal tak ada upaya pengrusakan oleh masyarakat. Dan, tegakan kayu ulin di TNK bisa menjadi sumber biji dan bibit untuk perluasan tanaman. Ini berarti, jika hutan ulin di TNK masih utuh, maka besar kemungkinannya untuk menumbuhkan kembali ulin-ulin di daerah lainnya. Namun jika sebaliknya, musnahlah ulin di Indonesia.
Aneka Guna Ulin
Legenda ulin tak lepas dari pemanfaatannya, baik oleh petinggi kerajaan di masa lalu maupun masyarakat lapis bawah. Kerajaan Kutai Kartanegara di Tenggarong misalnya, sudah lama memanfaatkan ulin untuk membangun istana raja. Sultan AM Sulaiman (1850-1899) menggunakan ulin sebagai bahan utama istananya yang anggun walau sederhana. Lalu Sultan AM Alimuddin (1899-1910) membangun istana ulin dua lantai, tak jauh dari istana lama. Baru setelah Sultan AM Parikesit mendirikan istana baru yang lebih kokoh dari beton pada 1936, ulin hanya tinggal penghias jendela dan pintu keraton. Ulin juga menjadi andalan masyarakat Kampung Air di Bontang Kuala untuk membuat perkampungan di atas laut. Tonggak-tonggak dari kayu ulin setinggi lebih dua meter, nampak mencuat dari balik air laut. Tonggak ini penuh diselubungi kerang-kerangan berwarna putih, yang muncul seiring pasang datang. Meskipun demikian, begitu kuat menyokong ratusan rumah kayu dan jembatan penghubung setiap rumah, yang juga dari ulin. Seolah kehidupan masyarakat di sini tak bisa dipisahkan dari kayu besi ini. Apalagi rumah ulin ini bisa bertahan lebih 30 tahun. Orang Bugis yang menjadi pengrajin kapal kayu di Pantai Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim, sudah berabad-abad menggunakan ulin sebagai bahan penyambung badan kapal. Paku ulin ini dibentuk menjadi silinder kecil, lalu dipotong-potong sesuai dengan ketebalan bagian kapal yang disambung. “Kami tak menggunakan paku besi, tapi paku ulin. Karena lebih kuat dan tidak betagar (berkarat, pen),” kata H Rachmad Lubis, pengrajin kapal kayu setempat. Kapal ini, kata Lubis, bisa bertahan antara 15-20 tahun. Sisa-sisa ulin juga mereka manfaatkan sebagai atap rumah maupun galangan kapal. Sisa-sisa ulin ini dibentuk menjadi kotak-kotak kecil yang disebut sirap. Sementara serbuk ulin yang dihasilkan dari sisa pembuatan kapal, digunakan sebagai bahan pengulas kayu. Caranya, serbuk ulin bersama serbuk kayu lainnya dibakar, lalu asapnya digunakan untuk membengkokkan kayu –umumnya bangkirai, halaban, atau bungur– agar mudah dibentuk.

Perdagangan dan Eksploitasi
Sabah dulunya merupakan pengekspor ulin utama dunia. Di tahun 1987 misalnya, negara bagian Malaysia ini mengekspor 3.836.070 meter kubik ulin. Lima tahun kemudian ekspornya tinggal 7.350 meter kubik karena habisnya hutan ulin di sana. Eksploitasi ulin di i bagian selatan Kalimantan dilakukan oleh para pemegang HPH dan penduduk setempat yang dikoordinir oleh penjual ulin. Para transmigran di Kaltim bahkan menebang dan menjual ulin sebagai penghasilan tambahan selain bertani. Ulin memang banyak manfaatnya. Selain untuk konstruksi bangunan, perkapalan, dan pengairan, ulin bisa dibuat perabot rumah tangga. Derasnya
permintaan dari Jepang, Amerika, dan negara-negara Eropa, membuat negara penghasil ulin semakin mengeksploitasi hutan ulinnya. Kini, setelah ulin menjadi barang langka, baru dilakukan pengawasan ketat terhadap perdagangan kayu ‘emas’ ini. Indonesia misalnya, melarang ekspor ulin ke luar negeri. Selain itu, pohon ulin baru boleh ditebang jika sudah memiliki diameter minimal 60 cm. Sedang Sarawak hanya membolehkan ekspor ulin dalam bentuk kayu gelondongan dan kayu lapis dengan ijin khusus. Budidaya ulin paska penebangan nampaknya sulit dilakukan. Minimnya regenerasi ulin di hutan bekas tebang disebabkan sulitnya mendapatkan bibit ulin serta kondisi tanah di hutan yang rusak. Namun ulin bisa tumbuh subur di hutan-hutan alam secara alami, misalnya di hutan TN Kutai. Kerusakan TNK bisa menjadi indikasi kerusakan hutan ulin di Indonesia.








KESIMPULAN

Berdasarkan survey terhadap populasi kayu ulin di Kalimantan, tercatat bahwa populasi ulin yang memiliki luasan 198.629 ha kini masuk dalam status terancam punah. Hal ini terjadi akibat pembalakan liar, eksploitasi yang berlebihan terhadap kayu ulin. Berdasarkan data TNK tahun 2001, pada tahun 1999 ada 7.280 meter kubik ulin yang dicuri. Tahun 2000 meningkat menjadi 13.805, dan tahun 2001 menjadi 19.825. Hal ini didasarkan nilai ekonomis ulin yang menggiurkan akibat tingginya permintaan. Nilai kayu ulin per kubiknya mencapai $ 1000. Hasil tebangan tersebut selain mereka jual kembali, juga mereka gunakan untuk konstruksi bangunan berupa tiang bangunan, sirap (atap kayu), kosen, jembatan, bahkan untuk bantalan kereta api. Tentu saja ini akan mendorong terus penebangan secara liar dan terjadinya illegal loging. Melihat kondisi yang demikian, perlu adanya upaya pemulihan kembali baik melalui kultur jaringan maupun penanaman bibit baru.rangnya kawasan TNK merupakan salah satu akibat dari punahnya atau berkurangnya ekosistem yang ada, yakni kayu ulin. Hal yang perlu dikembangkan dalam hal ini adalah perlunya ada konservasi khususnya untuk kayu ulin karena kayu ulin bersifat terbatas dan endemik. Tegakan kayu ulin di TNK bisa menjadi sumber biji dan bibit untuk perluasan tanaman. Ini berarti, jika hutan ulin di TNK masih utuh, maka besar kemungkinannya untuk menumbuhkan kembali ulin-ulin di daerah lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.vivaborneo.com/saatnya-melindungi-kayu-ulin.htm
http://www.tnkutai.com/index.php/in/news/85-taman-nasional-kutai-terus-dirambah