Laman

Senin, 12 Desember 2011

Pemeliharaan Ulat Sutera



Mata kuliah              : Ilmu Hama  Hutan                        Praktikum ke - 5
Tempat Praktikum    : Lab. Etnomologi                            Hari Praktikum : Senin


PEMELIHARAAN ULAT SUTERA

Anggota Kelompok :
1.         Erfan Handani               ( E44090011 )
2.         Dewi Rengganis                        ( E44090012 )
3.         Memet Selamet Purnama          ( E44090037 )
4.         Devhiawati Kusmalinda ( E44090073 )
5.         Agustina Puspita Dewi  ( E44090079 )

Asisten :
1.            Nur Trianna Aprilia
2.            Anindita Julian

Dosen :
Dr.Ir.Noor Farikhah Haneda, M.S


 





LABORATORIUM ENTOMOLOGI HUTAN
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang
Ulat sutera pada dasarnya sangat rentan terhadap kondisi lingkungan dan penyakit. Oleh karena itu dalam pemeliharaannya harus mengikuti standar-standar teknis pemeliharaan yang berlaku sehingga dalam pemeliharaannya ulat dapat berkembang dan menghasilkan kokon yang berkualitas. Sering terjadi pemeliharaan ulat sutera alam dalam pelaksanaannya kurang memperhatikan tahapan kegiatan pemeliharaan ulat dan kebutuhan optimal dari ulat sehingga ketika kualitas kokon yang dihasilkan rendah maka sering menimpakan kesalahan pada factor bibit/telur yang kurang baik.
Ulat sutera termasuk ke dalam golongan binatang berdarah dingin sehingga suhu badannya akan sangat mudah terpengaruh oleh suhu dan kelembaban tempat pemeliharaannya. Selain itu ulat sutera sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim di lokasi pemeliharaan selain suhu dan kelembaban nisbi, yaitu kualitas udara, aliran udara, cahaya, dll. Kecocokan iklim mikro di tempat pemeliharaan ulat sutera juga dipengaruhi oleh kesegaran udara dan tingkat pergantian udara. Ventilasi yang baik akan menyebabkan temperature dan kelembaban nisbi yang diinginkan dapat dicapai. Misalnya ketika udara cukup panas atau justru terlalu lembab, maka dengan adanya ventilasi yang baik kondisi yang lebih optimal dapat diciptakan.
Hal yang penting juga menjadi pertimbangan adalah bahwa kondisi ruang pemeliharaan harus disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan ulat, karena tingkat pertumbuhan ulat yang berbeda akan berpengaruh pada kondisi optimal lingkungan yang dibutuhkan. Sebagai contoh, ulat kecil dengan tingkat pertumbuhan yang masih lemah akan membutuhkan suhu dan kelembaban yang berbeda dibanding ulat besar yang kondisi tubuhnya sudah relative lebih kuat. Oleh karena itu dalam pemeliharaan ulat sutera harus diperhatikan untuk senantiasa menyesuaikan iklim mikro di tempat pemeliharaan supaya cocok dengan pertumbuhan ulat sutera, sehingga dapat memproduksi kokon yang berkualitas.
1.2  Tujuan
1.      Mahasiswa mengetahui siklus hidup ulat sutera
2.      Mahasiswa mampu menjelaskan siklus hidup ulat sutera dengan benar
3.      Mahasiswa mengetahui berbagai karakter hidup ulat sutera dan cara                        memeliharanya dengan baik dan benar








BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1. Pengamatan Panjang dan Diameter Ulat Sutera Berdasarkan Instar
Hari Ke-
Instar Ke-
Panjang Rata-rata (cm)
Diameter Rata-rata (cm)
Arah Makan
Keteraangan Lain
1
I
0.9
0.15
pinggir daun

2
0.9
0.15
pinggir daun

3
0.9
0.15
pinggir daun

4
1.0
0.17
pinggir daun

5
1.2
0.20
pinggir daun

6
II
1.2
0.20
pinggir daun

7
1.8
0.30
pinggir daun

8
2.0
0.40
pinggir daun

9
2.2
0.40
pinggir daun

10
III
2.2
0.40
pinggir daun

11
2.4
0.40
pinggir daun

12
2.4
0.40
pinggir daun

13
2.5
0.50
pinggir daun

14
IV
2.5
0.50
pinggir daun

15
2.8
0.52
pinggir daun

16
2.9
0.52
pinggir daun

17
3.0
0.60
pinggir daun

18
3.4
0.60
pinggir daun

19
V
3.8
0.70
pinggir daun

20
4.0
0.80
pinggir daun

21
4.0
0.80
pinggir daun

22
Mati
Mati


Berat Kokon : 2 gram

2.2 Pembahasan
            Ulat sutera adalah larva dari serangga yang termasuk ordo Lepidoptera yang mengalami metamorfosa sempurna.  Siklus hidup ulat sutera diawali dari telur, kemudian menetas menjadi ulat, pupa dan akhirnya menjadi ngengat yang siap bertelur lagi.  Selama menjadi ulat, merupakan masa makan dan terjadi 4 kali pergantian kulit. Sebelum terjadi pergantian kulit ulat sutera dinamakan instar 1, instar 2, instar 3, instar 4 dan instar 5,  dan ulat sutera sama sekali berhenti makan, saat ini dinamakan masa tidur atau masa istirahat.  Setelah instar 5 berakhir ulat mengokon untuk berubah menjadi pupa.  Selanjutnya pupa berubah menjadi kupu dan siklus akan berulang dimulai lagi dari telur.
            Bentuk fisik ulat sutera sangat khas. Fisik ulat sutera terbagi ke dalam tiga bagian utama. Yakni kepala, bagian thorax, serta abdomen atau tubuh. Di bagian kepala terdapat antena sebagai organ syaraf perasa. Ada rahang untuk mengunyah makanan. Ada pula mata. Dan masih ada spinneret, tempat keluarnya filamen sutera. Dibutuhkan ruang gelap untuk penetasan telur sutera. Ketika baru menetas, ulat hanya memiliki panjang tiga milimeter. Setelah sehari, ulat bertambah panjang menjadi sekitar sembilan milimeter.pertambahan panjang rata-rata dari ulat sutera berkisar antara 1 mm-4 mm, sedangkan pertambahan diameter rata-rata ulat sutra berkisar antara 0,1 mm – 2 mm.   Selama menjalani fase larva, ulat sutera mengalami empat kali ganti kulit dan lima periode makan. Periode makan ini disebut Instar. Bayi-bayi ulat berumur sehari membutuhkan pakan daun murbei muda dan suhu udara yang lembab. Sepanjang perjalanan hidup ulat sutera dari mulai periode instar pertama hingga kelima, ulat mengalami empat kali pergantian kulit. Kondisi ini berbarengan dengan perkembangan bentuk tubuhnya yang juga bertambah besar. Sesudah instar ketiga, menjelang instar keempat dan lima, ulat pun tidur. Pada instar kelima menjelang pengokonan, selama dua hari ulat sutera makan daun murbei tanpa henti. Ketika masa pengokonan tiba, ulat tak lagi makan selama tiga hari. Tubuh ulat menjadi lebih bening saat pengokonan tiba dan bagian mulut mulai mengeluarkan serat. Siklus hidup ulat sutera sejak bayi hingga masa kawin serta bertelur hanya berlangsung selama kisaran waktu satu bulan. Kupu-kupu melewati fase perkembangan hidup sebagai pupa kurang lebih dua pekan. Kupu-kupu baru bisa keluar setelah mengeluarkan cairan liur, khusus untuk melubangi kokon rumah serat sutera yang dibangunnya selama tiga hingga lima hari tanpa henti. Pemeliharaan ulat besar dilaksanakan pada instar IV dan instar V. Kedua instar ini secara fisiologi sangat berbeda satu sama lainnya. Instar IV lebih dekat pada ulat sutera kecil, maka pemeliharaan dititik beratkan pada menjaga lingkungan yang bebas penyakit, suhu dan kelembaban yang sesuai, pemberian pakan yang cukup dan bergizi.Pada instar V merupakan fase terpenting pemeliharaan ulat sutera, karena pada fase ini pertumbuhan kelenjar sutera berjalan cepat. Keperluan daun murbei untuk pakan hampir 90% dihabiskan pada instar V, sehingga daun murbei harus dimanfaatkan seefisien mungkin. Pengokonan terjadi pada ulat sutera diakhir instar ke-5, yaitu proses membungkus diri dengan serat yang dikeluarkan dari mulutnya, sebelum berubah bentuk menjadi pupa. Kokon inilah yang dimanfaatkan oleh manusia untuk bahan baku benang, sehingga pengokonan harus ditangani dengan benar, baik persiapan alat pengokonan maupun pelaksanaannya, supaya menghasilkan kokon yang berkualitas baik.
            Pada waktu itu ulat sutera sudah waktunya mau mengokon dengan ciri-ciri yaitu (1) napsu makan berkurang, bahkan berhenti sama sekali, (2) Tubuhnya menjadi tembus cahaya dan berwarna bening, (3) Ulat sutera cenderung berjalan ke tepi dan kepalanya diangkat-angkat seakan-akan mencari pegangan, (4) Dari mulutnya mengeluarkan liur, (5) Kalau ulat sutera sudah memperlihatkan tanda-tanda tersebut harus segera dipindahkan ke tempat pengokonan
            Berdasarkan pengamatan yang dilakukan setiap hari larva diukur diameter kepala dan panjang tubuhnya. Berdasarkan data yang didapat pertumbuhnya, ulat sutera itu punya fase-fase pertumbuhan, yaitu fase pertama sekitar  4 hari sebelum masuk ke instar I atau ganti kulit yang pertama dengan ukuran diameter dan panjang yang relatif kecil dan setelah itu memasuki periode instar I atau ganti kulit untuk pertama kalinya Setelah itu, empat hari berikutnya  ulat kembali berganti kulit untuk memasuki instar II dan kembali berganti kulit serta terjadi pertambahan diameter dan panjang yang relatif signifikan. Pada fase kedua dan ketiga, semua kulit ulat sutera berganti. Tiga fase ini ditempuh dalam tiga belas hari. Pada fase ini, ulat masih sangat sensitive.Fase ke empat, yang dimulai dari hari ke 15, selama 4-6 hari dan setelah itu memasuki instar IV dan mengalami pertambahan diameter dan panjang. Pada fase akhir, ulat sutera akan berhenti makan dan mulai membuat kepompong selama 2-3 hari. Dan ulat mencapai instar V pada hari ke- 23. Pada tahap ini, ulat akan membentuk kokon (kepompong).
            Pada larva yang masih berusia muda, larva ulat sutera memakan daun murbei yang telah di buat kecil-kecil. Tapi setelah ulat sutera berukuran besar, daun yang diberikan menjadi lebih tua dan tetap dirajang tapi tidak terlalu kecil, dan selain itu daun yang diberikan jangan terlalu basah. Pada saat pengamatan juga dilihat cara makan ulat sutera yang pada umumnya dari bagian pinggir daun. Sedangkan bentuk ulat sutera yang kita pelihara memperlihatkan perubahan warna, pada saat kecil warnanya agak kehitaman sedangkan pada saat beranjak dewasanya warnanya semakin putih terang. Ulat sutera mengalami pembentukan kokon setelah 23 hari dan pengokonan berlangsung sampai hari ke- 26, setelah itu kokon tersebut tidak berubah menjadi kupu-kupu. Dari empat ulat sutra yang dipelihara hanya satu ulat sutra saja yang sampai membentuk kokon. Tiga yang lainnya mati sebelum membentuk kokokn ini mungkin disebabkan kekurangan makanan atau mungkin juga daun murbeynya terlalu tua sehingga tidak bisa dimakan oleh ulat sutra.



BAB III
KESIMPULAN

            Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa, siklus hidup ulat sutera mengalami empat kali ekdisis dan lima instar. Selain itu, dalam pemeliharaan ulat sutera, aspek makanan merupakan faktor yang penting selain kodisi lingkungan yang bersih agar ulat sutera bisa tumbuh dengan baik. Dari semua ulat sutera yang dipelihara, semua ulat sutera mengalami kematian pada fase pembentukan kokon.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim.__. Proyek Pengembangan Persuteraan Alam Di Indonesia. Japan International ooperation Agency.
Anonim. 2000. Pedoman Pelaksanaan Pemeliharaan Ulat Sutera Perum Perhutani. Perum Perhutani. Jakarta.
Anonim. 2000. Pedoman Pelaksanaan Pembuatan Tanaman dan Pemeliharaan Kebun Murbei Perum Perhutani. Perum Perhutani. Jakarta.
Atmosoedarjo, Sukiman dkk. 2000. Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.
Guntoro, Suprio. 1994. Budidaya Ulat Sutera. Kanisius. Yogyakarta.

Jumat, 08 Juli 2011

Hutan Bakau di Karawang Kritis

Ilustrasi hutan bakau Teluk Kendari, Foto : Marwan Azis/Beritalingkungan.com
Ilustrasi hutan bakau Teluk Kendari, Foto : Marwan Azis/Beritalingkungan.com
KARAWANG,BERLING.-Disaat para penggiat lingkungan menyerukan perlunya melestarikan hutan bakau (mangrove) yang bermanfaat sebagai  pelindung dari bahaya erosi, abrasi bahkan tsunami. Kabar menyedikan datang dari Karawang, ribuan hektare hutan mangrove sepanjang pantai  dilaporkan kondisinya kritis.
Bahkan, sebagian ruas sepanjang pantai Pisangan, Kecamatan Cibuaya dan Pantai Pusaka Jaya, Kecamatan Cilebar hanya tinggal beberapa batang saja."Kini yang bisa diandalkan hanya sekitar 4.000 hektare hutan mangrove di Desa Cikeong, Kecamatan Tirtajaya yang menjadi pilot preject dari Perhutani beberapa tahun lalu, kini kondisinya pun sudah kritis," ucap Asisten Daerah (Asda) I Kab. Karawang, Saleh Effendi seperti dilansir Pikiran Rakyat.
Effendi mengatakan, pengendalian terhadap kerusakan hutan mangrove memang minim. Pasalanya kewenangan tersebut berada pada pemerintah pusat, dalam hal ini adalah Kementrian Kehutanan. "Kami jarang sekali diajak berkoordinasi untuk melakukan langkah antisipatif terhadap kerusakan mangrove. Kewenangan kami untuk melakukan pengendalian dan pengawasan masih rancu karena semua perijinan pemanfaatan lahan mangrove berada di Kementerian Kehutanan," ucapnya.
Effendi mengatakan, kajian untuk melakukan pengendalian yang bisa dituangkan dalam peraturan daerah (perda) mengenai kerusakan lingkungan bisa saja sebagai instrumen peraturan untuk menekan laju kerusakan hutan mangrove. Namun, kajian tersebut masih terkendala dengan kewenangan yang dimiliki Pemkab Karawang.
Hal senada juga diungkapkan Kepala Bidang Kehutanan, Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kab. Karawang, Herdiyanto mengatakan darri data terakhir tahun 2008, sepanjang 50 km dari 71 km bibir pantai yang ada hutan mangrove semuanya sudah hilang. "Kondisi sekarang mungkin bisa lebih parah, karena memang tidak pernah ada pengendalian terhadap kerusakan hutan mangrove. Kami hanya bisa bertindak apabila diajak, atau berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan," katanya.
Herdiyanto mengatakan, rusaknya ribuan hektare hutan mangrove yang sudah dijadikan sebagai hutan lindung karena adanya alih fungsi untuk lahan pertambakan. "Padahal untuk memberikan ijin alih fungsi tersebut merupakan kewenangan Kementrian Kehutanan. Kami pun tidak pernah mengeluarkan rekomendasi adanya alih fungsi,apalagi hutan mangrove tersebut adalah hutan lindung," ujarnya.
Hutan mangrove penting untuk dipertahakan dan dilestarikan karena sangat bermanfaat dalam memberikan perlindungan kepada berbagai organisme baik hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan berkembang biak. Hutan mangorove dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, primata, serangga dan sebagainya. Selain menyediakan keanekaragaman hayati. juga sebagai  pelindung pantai dari bahaya erosi, abrasi bahkan tsunami.(Das/Wan).

Rabu, 29 Juni 2011

Hutan Pendidikan Gunung Walat

Kondisi Umum

Lokasi HPGW
HPGW seluas 359 Ha terletak di koordinat geografis 6053'35''- 6055'10'' Lintang Selatan dan 1060 47'50'' - 1060 51'30'' Bujur Timur.  Dalam administrasi kehutanan areal HPGW termasuk BKPH Gede Barat, KPH Sukabumi, Unit III Jawa Barat Perum Perhutani, sedangkan secara administrasi pemerintahan termasuk dalam wilayah Kecamatan Cicantayan dan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat.
Desa-desa yang terletak dan berdekatan dengan HPGW adalah Desa Batununggal dan Sekarwangi (di Bagian Utara), Desa Cicantayan, Desa Cijati (di Bagian Timur), Desa Hegarmanah (di Bagian Selatan) dan Desa Hegarmanah (di Bagian Barat).
Hutan Pendidikan Gunung Walat dibagi ke dalam 3 blok yaitu: Blok Cikatomas (120 Ha) terletak di bagian Timur, blok Cimenyan (125 Ha) terletak di bagian Barat dan Blok Tengkalak / Seusepan (114 Ha) di bagian Tengah dan Selatan.

Topografi
Hutan Pendidikan Gunung Walat merupakan bagian dari pegunungan yang berderet dari Timur ke Barat.  Bagian selatan merupakan daerah yang bergelombang mengikuti punggung-punggung bukit yang memanjang dan melandai dari Utara Ke Selatan. Di bagian tengah terdapat puncak dengan ketinggian 676 m di atas permukaan laut yang dapat di lihat pada titik KQ 2213. Kondisi tofografi mulai dari agak curam ( 15-25 %) sampai sangat curam (> 40 %).

Jenis Tanah
Berdasarkan peta tanah Gunung Walat skala 1: 10.000 tahun 1981, jenis tanah Gunung Walat adalah keluarga Tropophumult Tipik (lotosol merah kekuningan), Tropodult (Latosol coklat), Dystropept Tipik (Podsolik merah kekuningan) dan Troporpent Lipik (Latosol).  Keadaan ini menunjukkan bahwa tanah di Hutan Pendidikan Gunung Walat bersifat heterogen.  Tanah latosol merah kekuningan adalah jenis tanah yang terbanyak sedangkan di daerah berbatu hanya terdapat tanah latosol, dan di daerah lembah terdapat tanah podsolik.

Iklim dan Hidrologi
Daerah Gunung Walat mempunyai type Iklim B (basa) dengan nilai Q = 14,3%-33% dan banyaknya curah hujan tahunan berkisar antara 1600 - 4400 mm.  Suhu minimum 220C untuk malam hari, sedangkan suhu maksimum pada siang hari 300C.
Di areal Hutan Pendidikan Gunung Walat ini terdapat beberapa aliran sungai yang umumnya mengalir ke arah Selatan dan berair sepanjang tahun yaitu anak sungai Cipeureu, Citangkalak, Cikabayan, Cikatomas dan Legok Pusar.

Geologi
Kandungan batu alam di HPGW terdiri dari batuan sedimen vulkanik berwarna hijau semu abu-abu, yang membentuk seri lapisan yang sangat tebal.  Tebal setiap lapisan berkisar antara beberapa sentimeter hingga kurang dari 35 cm.  Gunung Walat terdiri dari lapisan Tufa Dasit yang pada horizon tertentu diselingi dengan batuan tufa andesit, yang merupakan bagian dari”Breksi tua” yang berumur Meosin.  Keadaan gunung walat merupakan pulau Meosin di tengah-tengah formasi batuan vulkanik kuarter yang berasaldari Gunung Salak dan Gunung Gede.
Gunung Walat dan sekitarnya dibangun oleh batuan sedimen tersier bawah (oligosen) yang disebut formasi Walat.  Formasi Walat terutama disusun oleh batu pasir kuarsa yang berlapiskan silang konglomerat kerakal kuarsa lempung, lignit lapisan-lapisan arang tipis.  Makin ke atas ukuran butiran bertambah dan tersingkap di Gunung Walat (dekat Cibadak) serta daerah sekitarnya.  Pasir dari formasi ini dapat digunakan untuk pembuatan gelas dan diperkirakan tebalnya antara 1000 - 1373 m.

Vegetasi
Hutan Gunung Walat pada mulanya berupa lahan kosong, dan sejak tahun 1951 dilakukan penanaman dengan jenis tanaman Agathis lorantifolia. Pada tahun 1973 penutupan lahan telah mencapai 53%, dan pada tahun 1980 telah mencapai 100%. Tegakan HPGW terdiri dari Agathis lorantifolia, Pinus merkusii, Swietenia macrophylla, Dalbergia latifolia, Schima wallichii, Gliricidae sp, Altingia excelsa, Paraserianthes falcataria, Shorea sp, dan acacia mangium.
Pada Tahun 2005 ditemukan 44 jenis tumbuhan potensial termasuk 2 jenis rotan dan 13 jenis bambu. Jumlah tumbuhan obat sebanyak 68 jenis.
Potensi hutan tanaman berdasarkan hasil inventarisasi hutan tahun 1984 adalah sebanyak  10.855 m3 kayu agathis lorantifolia( Damar), 9.471 m3 kayu Pinus merkusii (Pinus), 464 m3 Schima wallichii (puspa), 132 m3 paraserianthes falcataria (sengon) dan 88 m3 kayu Swietenia macrophylla (mahoni).  Tanaman Damar dan Pinus merkusii telah menghasilkan getah kopal dan getah pinus.

Fauna
Di areal HPGW terdapat beraneka ragam jenis satwa liar yang meliputi jenis-jenis mamalia (babi hutan, kera, meong congkok, tupai, trenggiling, musang), 20 jenis burung (Elang Jawa, Emprit, Kutilang dll), reptilia (biawak, ular, bunglon) dan ikan sungai seperti ikan lubang dan jenis ikan lainnya. Ikan lubang adalah ikan sejenis lele yang memiliki warna agak merah.

Penduduk
Penduduk di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani, peternak, tukang ojek, pedagang hasil pertanian dan bekerja sebagai buruh pabrik.  Pertanian yang dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat berupa sawah lahan basah dan lahan kering.  Jumlah petani penggarap yang dapat ditampung oleh Hutan Pendidikan Gunung Walat sebanyak 300 orang petani penggarap. Hasil pertanian dari lahan Agroforestry seperti singkong, kapolaga, pisang, cabe, padi gogo, kopi, sereh, dll.  Jumla ternak domba /kambing di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat sebanyak 1875 ekor, jika setiap ekor domba / kambing memerlukan 5 kg rumput, maka diperlukan hijauan sebanyak 9,375 ton. Hijauan pakan ternak tersebut sebagian besar berasal dari Hutan Pendidikan Gunung Walat.
Kecamatan Cicantayan, khususnya desa Hegarmanah juga merupakan desa penghasil manggis dengan mutu eksport. Jumlah pohon manggis di desa Hegarmanah sebanyak 12.800 batang dan akan terus bertambah. Untuk menjadi sentra produksi diperlukan 40.000 pohon.

Kamis, 05 Mei 2011

 
SPESIES INVASIF

Pendahuluan
Menurut Wikipedia (2008), spesies invasif mempunyai beberapa macam definisi, yaitu (1) non-indigenous species atau spesies asing yang menyebabkan habitat diinvasi dan dapat merugikan baik secara ekonomis, lingkungan maupun ekologis; (2) native dan non-native species, spesies yang mengkoloni secara berat habitat tertentu; dan (3) widespread non-indigenous species, spesies yang mengekspansi suatu habitat. Jadi spesies invasif mencakup spesies asing (eksotik) dan spesies asli yang tumbuh di habitat alaminya.
Karakter spesies invasif antara lain: tumbuh cepat, reproduksi cepat, kemampuan menyebar tinggi, toleransi yang lebar terhadap kondisi lingkungan, kemampuan untuk hidup dengan jenis makan yang beragam, reproduksi aseksual, dan berasosiasi dengan manusia.
Spesies asing invasif adalah spesies-spesies flora maupun fauna, termasuk mikroorganisma yang hidup di luar habitat alaminya, tumbuh dengan pesat karena tidak mempunyai musuh alami, sehingga menjadi gulma, hama dan penyakit pada spesies-spesies asli.
(1)     Berdasarkan data The Invasive Species Specialist Group/ISSG (2004) terdapat sekitar 100 spesies yang sangat invasif, termasuk diantaranya kirinyu (Chromolaena odorata) (Lampiran 1). Invasi hayati oleh spesies-spesies saat ini telah disadari sebagai salah satu ancaman pada keberlangsungan keanekaragaman hayat dan ekosistem asli.  Sebagai kompetitor, predator, patogen dan parasit, spesies-spesies asing invasif ini mampu merambah semua bagian ekosistem alami/asli dan menyebabkan punahnya spesies-spesies asli.  Dalam skala besar spesies asing invasif ini mampu merusak ekosistem alami/asli.
Selama jutaan tahun, hambatan alam berupa lautan, pegunungan, sungai dan gurun menjadi isolasi alam yang berfungsi sebagai penghalang pergerakan alami sehingga keunikan berbagai spesies dan ekosistem tetap terjaga.  Penghalang alam yang telah ada dalam ratusan tahun tersebut menjadi tidak efektif disebabkan berbagai perubahan global yang membuat suatu spesies dapat berpindah melintasi jarak yang jauh dan masuk ke suatu habitat baru dan menjadi spesies asing invasif.
Penghalang alami yang mampu menahan interaksi berbagai spesies selama jutaan tahun telah berakhir dengan meningkatnya pergerakan dan kegiatan manusia.  Transportasi global, pertumbuhan volume perdagangan dan wisata serta ditambah adanya perdagangan bebas memberikan kesempatan yang lebih besar bagi suatu spesies untuk berpindah dari habitat aslinya.  Penghalang pergerakan alami yang semula mampu mengisolasi pergerakan spesies-spesies asing ini dapat terjadi secara disengaja, melalui introduksi spesies komoditas, perdagangan dan kepariwisataan, atau tidak disengaja, melalui penempelan berbagai spesies makhluk hidup ini pada kapal, kontainer, mobil, benih, dan tanah.


Introduksi Spesies Asing
Menurut definisi International Union for Conservation of Natural Resources/IUCN seperti dikutip KLH (2002), introduksi adalah suatu pergerakan oleh kegiatan manusia, berupa spesies, subspesies atau organisme pada tingkatan takson yang lebih rendah, keluar dari tempat asalnya.  Pergerakan atau perpindahan ini dapat terjadi di dalam negara atau antar negara.
Introduksi dilakukan oleh manusia karena beberapa alasan :
  1. Aspek ekonomi (bisnis).  Introduksi hewan dan tanaman hias merupakan bisnis yang besar.  Kecenderungan manusia untuk menyukai sesuatu yang bersifat lain, unik ataupun aneh menyebabkan manusia mengintroduksi hewan atau tanaman yang belum pernah dilihat atau disaksikan
  2. Memenuhi kebutuhan makanan.  Berbagai hewan (ternak), termasuk ikan yang diintroduksi oleh manusia dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan makanan.  Dari sekian spesies hewan dan tanaman, dipilih spesies-spesies yang memiliki pertumbuhan cepat dan mampu beradaptasi dengan cepat dalam lingkungan barunya, mudah diangkut dan dipindahkan dan mengandung unsur gizi yang besar.
  3. Memanipulasi ekosistem.  Hal ini dilakukan pada kasus introduksi musuh alami suatu organisme pengganggu.
Pemasukan, penyebaran dan penggunaan berbagai spesies asing baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak disengaja yang kemudian menjadi invasif telah menyebabkan kerugian ekologi dan ekonomi yang cukup besar.  Kerugian berupa kerusakan lingkungan akibat invasi spesies asng umumnya sangat sulit untuk dipulihkan lagi, karena berkaitan dengan makhluk hidup yang mampu melakukan adaptasi, tumbuh dan berkembang.  Kepunahan suatu spesies organisme lokal merupakan suatu spesies kerusakan yang tidak dapat diperbaharui.
Beberapa spesies dan varitas baru yang secara teknis, ekonomis, sosial dan ekologis diperlukan dan secara nyata telah memberikan kontribusi positif bagi kesejahteraan masyarakat.  Namun, banyak spesies asing yang sebenarnya dapat berdampak buruk bagi ekosistem asli.
Hama, gulma dan penyakit yang muncul dari introduksi spesies asing invasif ini menurunkan hasil panen, menjadi pesaing pada spesies-spesies tanaman dan ternak komoditas, dan mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Perangkat Peraturan dan Hukum untuk Pengendalian Spesies Invasif
Spesies asing invasif menjadi ancaman penting bagi keanekaragaman hayati.  Oleh karena itu di dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No.5 Tahun 1994 secara khusus pada pasal 8(h) memberikan amanat agar setiap negara wajib sejauh mungkin menghindari introduksi spesies asing invasif, melakukan pengendalian dan pemusnahan spesies asing invasif tersebut yang akan menimbulkan dampak lingkungan dan kerusakan keanekaragaman hayati asli.
Selanjutnya pada Konferensi Para Pihak ke empat Konvensi Keanekaragaman Hayati (COP IV CBD) pada tahun 1998 di Bratislava telah mengamanatkan pada para Pihak untuk mengembangkan upaya pendidikan, pelatihan dan penyadaran masyarakat secara efektif dan sekaligus mengembangkan program kampanye dan penyebaran informasi mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan permasalahan pengendalian spesies asing, termasuk pengkajian dan pengelolaan dampak yang mungkin timbul akibat introduksi spesies asing.
Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang didalamnya terkait juga dengan permasalahan introduksi spesies tumbuhan dan hewan asing. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Pasal 3 ayat (1) mengenai spesies usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup termasuk butif 1.f., yaitu introduksi spesies tumbuh-tumbuhan, spesies hewan, dan jasad renik.  Kegiatan introduksi ini wajib melaksanakan AMDAL.  Namun demikian pedoman pengkajian resiko dan pengelolaan resiko yang berkait dengan introduksi spesies ini sampai sekarang belum dikembangkan.
Berbagai Kasus Spesies Invasif di Indonesia
Introduksi spesies asing di Indonesia telah lama terjadi, baik disengaja maupun tidak disengaja.  Introduksi spesies asing tersebut dalam beberapa kasus telah menimbulkan dampak yang cukup besar.  Spesies asing berupa gulma, telah menimbulkan kerugian yang cukup besar di sektor pertanian.  Sementara itu ada pula spesies asing yang berubah menjadi spesies yang dominan dan berkompetisi dengan spesies lokal yang pada akhirnya mengganggu keberadaan spesies lokal. Disamping spesies asing, terdapat juga spesies asli yang invasif.
Berikut ini beberapa kasus spesies invasif, baik tumbuhan maupun satwa, yang terjadi di sektor kehutanan, khususnya di kawasan konservasi.
  1. Taman Nasional Ujung Kulon
Keberadaan langkap (Arenga obtusifolia) di Taman Nasional (TN) Ujung Kulon Banten, walaupun bukan spesies asing sangat mengganggu habitat satwaliar, terutama Badak Jawa.  Hampir sebagian besar kawasan TN Ujung Kulon diinvasi dan didominasi oleh langkap, sehingga menekan habitat tumbuhan lain yang berfungsi sebagai pakan Badak Jawa (Arief, 1995).
2. Taman Nasional Baluran
Salah satu alasan ditetapkannya Baluran sebagai Taman Nasional adalah karena adanya padang savana alami yang cukup luas (10.000 ha) yang dihuni oleh berbagai spesies satwaliar langka dan dilindungi salah satu diantaranya Banteng (Bos javanicus).  Oleh karena itu keberadaan ekosistem savana dan banteng menjadi salah satu objek utama dan sekaligus prioritas dalam pengelolaan kawasan TN Baluran Jawa Timur.
Luas areal padang savana dari tahun ke tahun mengalami penyusutan/penyempitan akibat invasi akasia (Acacia nilotica) yang semula ditanam pada tahun 1969 sebagai sekat bakar (Mutaqin, 2002).  Pertumbuhan atau perkembangan akasia ini sangat pesat hingga menyebar ke seluruh kawasan savana Baluran, yang diperkirakan sudah mencapai 5.000 ha.  Akibatnya ekosistem savana yang semula sebagai habitat satwa telah berubah menjadi hutan akasia yang sangat rapat dan ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan bahkan dapat mematikan rumput sebagai pakan satwa, terutama untu banten dan rusa.
3.Taman Nasional Wasur
Di Taman Nasional Wasur, Papua, terdapat beberapa spesies flora dan fauna eksotik atau asing yang berpotensi mengancam kelestarian flora dan fauna asli dan keberadaan ekosistem TN Wasur.  Jenis-jenis flora eksotik tersebut adalah (KLH 2002):
(2)  Eceng gondok (Eichornia crassipes)
Spesies tumbuhan eceng gondok (Eichornia crassipes) masuk ke TN Wasur pada tahun 1990 dan menginvansi sungai-sungai besar seperti Sungai Maro dan Sungai Wanggo serta anak-anak sungainya, yang mengakibatkan terganggunya transportasi air dan pendangkalan sungai karena akarnya mengikat lumpur yang terdapat di sekitarnya.  Pada tahun 2000 luasan tumbuhan eceng ini telah menyebar sampai ke daerah hilir sungai yang berbatasan dengan Papua Nugini.
(3)     Kirinyuh (Chromolaena odorata)
Tumbuhan kirinyuh (Chromolaena odorata) menginvasi kawasan TN Wasur di daerah tepi jalan Trans Irian km 35 dan sekitar kebun-kebun masyarakat, yang bersaing dengan rumput-rumput asli.  Kehadiran spesies tumbuhan ini sangat berpotensi sebagai material terjadinya kebakaran hutan pada musim kemarau.
(4)     Klampis air atau putri malu raksasa (Mimosa pigra)
Tumbuhan klampis air (Mimosa pigra) telah tersebar di TN Wasur seluas 15,6 ha menutupi kedua sisi tepi Sungai Maro sampai Sungai Wanggo.
(5)     Ekor tikus atau jarong (Stachytarpheta urticaefolia)
Semak ekor tikus (Stachytarpheta urticaefolia) tersebar di daerah padang rumput Ukra dan Kankania seluas 403 ha.  Biji spesies tumbuhan ini mempunyai sifat tahan terhadap pembakaran, sehingga dapat berkecambah kembali pada awal musim penghujan di daerah padang rumput.
(6)      Spesies tumbuhan eksotik lainnya adalah tebu rawa (Hanguana sp.), selada air (Pistea sp.), salvinia (Salvinia sp.), sidagori (Sida acuta), saliara (Lantana camara), akasia (Acacia nilotica).
Keenam spesies tumbuhan tersebut berpotensi mengancam kelestarian spesies flora dan fauna endemik, disamping itu pengendalian untuk spesies tumbuhan tersebut belum banyak dilakukan.
(7)     Sapi
Sapi masuk ke padang pengembalaan TN Wasur diawali dengan terbitnya Surat Keputusan Kepala Daerah Tk. I Propinsi Irian Jaya pada tahun 1979 yang menunjuk daerah padang pengembalaan TN Wasur di daerah Tomerau dan sekitarnya sebagai lokasi pengembalaan sapi masyarakat. Jumlah sapi yang tinggal di kawasan taman nasional berjumlah 1.146 ekor pada tahun 1991 dan berkembang menjadi 1.525 ekor pada tahun 1997, dan pada tahun 1999 jumlah tersebut bertambah menjadi 2.115 ekor. Keberadaan sapi di dalam kawasan TN Wasur memberikan dampak negatif terhadap keseimbangan ekosistem kawasan TN Wasur yaitu menimbulkan persaingan sumber pakan dan sumber air dengan jenis fauna endemik kangguru/wallaby.  Selain itu kehadiran sapi ternak dalam jumlah yang banyak, mengakibatkan pemadatan tanah, sehingga menghambat pertumbuhan rumput asli.
(8)     Rusa (Cervus timorensis)
Rusa timor menginvasi daerah padang rumput bagian tenggara TN Wasur.  Berdasarkan survey WWF pada tahun 1990, diketahui bahwa populasi rusa di TN Wasur diperkirakan sekitar 5985 ekor, dengan kerapatan individu 9,7 ekor/km2.  Pada survey udara yang dilakukan tahun 1992-1994, populasi rusa berjumlah sekitar 12.000 ekor, dan berdasarkan survey darat yang dilakukan pada tahun 1997, diketahui populasi rusa sekitar 9.173 ekor (KLH, 2002).

Referensi
Arief, H. 1995.  Lebensraumpraferenzen das Javanashorn im Ujung Kulon National Park, West Java, Indonesien. Thesis.  Institut fur Wildbiologie und Jagkunde. Georg-August Universitat, Gottingen.
ISSG.  2004.  100 of the world’s worst invasive alien species.  ISSG: Auckland
KLH. 2002. Keanekaragaman hayati dan pengendalian jenis asing invasif. KLH-the Nature Conservancy: Jakarta
Mutaqin, I.Z. 2002.  Upaya penanggulangan tanaman eksotik Acacia nilotica di kawasan Taman Nasional Baluran, dalam KLH (2002), Keanekaragaman hayati dan pengendalian jenis asing invasif. KLH-the Nature Conservancy: Jakarta, pp: 39-48.
Wikipedia. 2008. Invasive species. http://en.wikipedia.org/wiki/Invasive_species.[25 Maret 2008]
Lampiran 1.
100 OF THE WORLD ‘S WORST INVASIVE ALLIEN SPECIES
MICRO-ORGANISM
avian malaria (Plasmodium relictum)
banana bunchy top virus (Banana bunchy top virus)
rinderpest virus (Rinderpest virus)

MACRO-FUNGI
chestnut blight (Cryphonectria parasitica)
crayfish plague (Aphanomyces astaci)
Dutch elm disease (Ophiostoma ulmi)
frog chytrid fungus (Batrachochytrium dendrobatidis)
phytophthora root rot (Phytophthora cinnamomi)

AQUATIC PLANT
caulerpa seaweed (Caulerpa taxifolia)
common cord-grass (Spartina anglica)
wakame seaweed (Undaria pinnatifida)
water hyacinth (Eichhornia crassipes)

LAND PLANT
African tulip tree (Spathodea campanulata)
black wattle (Acacia mearnsii)
Brazilian pepper tree (Schinus terebinthifolius)
cogon grass (Imperata cylindrica)
cluster pine (Pinus pinaster)
erect pricklypear (Opuntia stricta)
fire tree (Myrica faya)
giant reed (Arundo donax)
gorse (Ulex europaeus)
hiptage (Hiptage benghalensis)
Japanese knotweed (Fallopia japonica)
Kahili ginger (Hedychium gardnerianum)
Koster’s curse (Clidemia hirta)
kudzu (Pueraria montana var. lobata)
lantana (Lantana camara)
leafy spurge (Euphorbia esula)
leucaena (Leucaena leucocephala)
melaleuca (Melaleuca quinquenervia)
mesquite (Prosopis glandulosa)
miconia (Miconia calvescens)
mile-a-minute weed (Mikania micrantha)
mimosa (Mimosa pigra)
privet (Ligustrum robustum)
pumpwood (Cecropia peltata)
purple loosestrife (Lythrum salicaria)
quinine tree (Cinchona pubescens)
shoebutton ardisia (Ardisia elliptica)
Siam weed (Chromolaena odorata)
strawberry guava (Psidium cattleianum)
tamarisk (Tamarix ramosissima)
wedelia (Sphagneticola trilobata)
yellow Himalayan raspberry (Rubus ellipticus)

AQUATIC INVERTEBRATE
Chinese mitten crab (Eriocheir sinensis)
comb jelly (Mnemiopsis leidyi)
fish hook flea (Cercopagis pengoi)
golden apple snail (Pomacea canaliculata)
green crab (Carcinus maenas)
marine clam (Potamocorbula amurensis)
Mediterranean mussel (Mytilus galloprovincialis)
Northern Pacific seastar (Asterias amurensis)
zebra mussel (Dreissena polymorpha)


LAND INVERTEBRATE
Argentine ant (Linepithema humile)
Asian longhorned beetle (Anoplophora glabripennis)
Asian tiger mosquito (Aedes albopictus)
big-headed ant (Pheidole megacephala)
common malaria mosquito (Anopheles quadrimaculatus)
common wasp (Vespula vulgaris)
crazy ant (Anoplolepis gracilipes)
cypress aphid (Cinara cupressi)
flatworm (Platydemus manokwari)
Formosan subterranean termite (Coptotermes formosanus shiraki)
giant African snail (Achatina fulica)
gypsy moth (Lymantria dispar)
khapra beetle (Trogoderma granarium)
little fire ant (Wasmannia auropunctata)
red imported fire ant (Solenopsis invicta)
rosy wolf snail (Euglandina rosea)
sweet potato whitefly (Bemisia tabaci)

AMPHIBIAN
bullfrog (Rana catesbeiana)
cane toad (Bufo marinus)
Caribbean tree frog (Eleutherodactylus coqui)

FISH
brown trout (Salmo trutta)
carp (Cyprinus carpio)
large-mouth bass (Micropterus salmoides)
Mozambique tilapia (Oreochromis mossambicus)
Nile perch (Lates niloticus)
rainbow trout (Oncorhynchus mykiss)
walking catfish (Clarias batrachus)
Western mosquito fish (Gambusia affinis)

BIRD
Indian myna bird (Acridotheres tristis)
red-vented bulbul (Pycnonotus cafer)
starling (Sturnus vulgaris)

REPTILE
brown tree snake (Boiga irregularis)
red-eared slider (Trachemys scripta)
MAMMAL brushtail possum (Trichosurus vulpecula)
domestic cat (Felis catus)
goat (Capra hircus)
grey squirrel (Sciurus carolinensis)
macaque monkey (Macaca fascicularis)
mouse (Mus musculus)
nutria (Myocastor coypus)
pig (Sus scrofa)
rabbit (Oryctolagus cuniculus)
red deer (Cervus elaphus)
red fox (Vulpes vulpes)
ship rat (Rattus rattus)
small Indian mongoose (Herpestes javanicus)
stoat (Mustela erminea)
Sumber : www.issg.org/database
  • Share/Bookmark
 

No Responses to “Spesies Invasif”


Leave a Reply

You must be logged in to post a comment.
Recent Posts

Rabu, 13 April 2011

Pembalakan liar


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pembalakan liar atau penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat.
Walaupun angka penebangan liar yang pasti sulit didapatkan karena aktivitasnya yang tidak sah, beberapa sumber tepercaya mengindikasikan bahwa lebih dari setengah semua kegiatan penebangan liar di dunia terjadi di wilayah-wilayah daerah aliran sungai Amazon, Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa negara-negara Balkan.

Daftar isi

[sembunyikan]

Fakta penebangan liar

Dunia

Sebuah studi kerjasama antara Britania Raya dengan Indonesia pada 1998 mengindikasikan bahwa sekitar 40% dari seluruh kegiatan penebangan adalah liar, dengan nilai mencapai 365 juta dolar AS[1]
Studi yang lebih baru membandingkan penebangan sah dengan konsumsi domestik ditambah dengan elspor mengindikasikan bahwa 88% dari seluruh kegiatan penebangan adalah merupakan penebangan liar.[2]
Malaysia merupakan tempat transit utama dari produk kayu ilegal dari Indonesia.[3]

Amerika

Di Brasil, 80% dari penebangan di Amazon melanggar ketentuan pemerintah.[4] Korupsi menjadi pusat dari seluruh kegiatan penebangan ilegal tersebut.
Produk kayu di Brasil sering diistilahkan dengan "emas hijau" dikarenakan harganya yang mahal (Kayu mahogani berharga 1.600 dolar AS per meter kubiknya).
Mahogani ilegal membuka jalan bagi penebangan liar untuk spesies yang lain dan untuk eksploitasi yang lebih luas di Amazon.

Dampak pembalakan liar

Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektare setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan.
Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi.
Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektare kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektare per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010.
Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan.
Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektare pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar (Antara, 2004).

Referensi

  1. ^ Indonesia-UK Tropical Forestry Management Programme (1999) Illegal Logging in Indonesia. ITFMP Report No. EC/99/03
  2. ^ Greenpeace (2003) Partners in Crime: A Greenpeace investigation of the links between the UK and Indonesia’s timber barons. See http://www.saveordelete.com
  3. ^ Environmental Investigation Agency and Telepak (2004) Profiting from Plunder: How Malaysia Smuggles Endangered Wood.
  4. ^ WWF International (2002) The Timber Footprint of the G8 and China